A. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia
lahir pada tahun 320 H/ 932 M di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada
tanggal 9 Shafar 412H/ 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa
pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450H/ 932-1062M) yang sebagian besar
pemukanya bermazhab Syi’ah.[1]
Ibn Miskawaih dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya
melebihi pendahulunya, At Thabari. Ia juga dikenal sebagai dokter,
penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam berbagai bidang
ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku
dan artikel. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibn
Miskawaih ada 41 buah.
Menurut
Ahmad Amin, Ibn Miskawaih merupakan seorang intelektual Muslim pertama
di bidang filsafat akhlak, dan semua karyanya tidak luput dari
kepentingan filsafat akhlak. Sehubungan dengan itu tidak mengherankan
jika Ibn Miskawaih selanjutnya dikenal sebagai moralis.
B. Dasar Pemikiran
1) Konsep Manusia
Menurut Ibn Miskawaih, manusia sebagai makhluk mempunyai tiga daya yang merupakan unsur rohani manusia, yaitu:
Ø Daya bernafsu, sebagai daya terendah.
Ø Daya berani, sebagai daya pertengahan.
Ø Daya berfikir, sebagai daya tertinggi.[1]
Ketiga
unsur itu saling terkait, oleh karena itu manusia terdiri dari unsur
jasad dan rohani yang antara satu dan lainnya saling berhubungan.
2) Konsep Akhlak
Menurut Ibn Miskawaih, al ‘iffah (menjaga diri), as saja’ah (keberanian), al hikmah (kebijaksanaan), al ‘adalah
(keadilan) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Ibn Miskawaih
menegaskan bahwa yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem tercela.
Doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran Islam, yaitu ayat Al
Qur’an yang memberi isyarat untuk tidak boleh kikir tetapi juga tidak
boleh boros melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros.
“Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian”.
Doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis, tetapi juga
fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku
sesuai dengan tantangan zaman tanpa menghilangkan pokok keutamaan
akhlak. Jadi dengan doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehilangan
arah dalam kondisi apapun.
3) Konsep Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak.
Ø Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan
pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya
sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua
perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan
memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Ø Materi Pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlak yaitu:
a) Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
b) Hal-hal yang wajib bagi jiwa
c) Hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia[2]
Selanjutnya
materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa
yaitu, pembahasan tentang aqidah yang benar, mengesakan Allah dengan
segala kebesaranNya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu.
Apa
pun materi ilmu itu semuanya tidak lepas dari pengabdiannya kepada
Allah. Materi yang ada dalam syari’at sangat ditentukan oleh Ibn
Miskawaih. Menurutnya, dengan mendalami syari’at, manusia akan teguh
pendirian, terbiasa berbuat yang diridhai Allah, dan jiwa siap menerima
hikmat hingga mencapai kebahagiaan.
Para
guru/ pendidik dipandang oleh Ibn Miskawaih mempunyai kesempatan baik
untuk memberi nilai lebih pada setiap bidang ilmu bagi pembentukan
pribadi mulia. Setiap ilmu hendaknya membawa misi akhlak yang mulia,
bukan semata-mata ilmu dan tujuan akademis. Semakin banyak dan tinggi
ilmu seseorang, maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
Ø Pendidik dan Anak Didik
Kedua
aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) mendapatkan perhatian yang
khusus dari Ibn Miskawaih. Kecintaan anak didik atau murid disamakan
kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Ibn Miskawaih
mendudukkan cinta murid terhadap guru berada di antara kecintaan
terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan. Guru berfungsi sebagai
orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang
diberikan adalah kebaikan Ilahi. Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibn
Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya
tentang manusia ideal. Ibn Miskawaih membagi cinta kepada empat bagian:
- Cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar
- Cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat pudar
- Cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula
- Cinta yang melekat dan pudarnya lambat
Macam-macam
cinta ini menurutnya sekedar cinta manusiawi. Cinta yang diharapkan
adalah cinta yang didasarkan atas semua jenis kebaikan, tetapi
kualitasnya lebih lama, sehingga menjadi cinta yang murni dan sempurna
yaitu cinta Ilahi. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan pada cinta
kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi
keberhasilan pendidikan.
Ø Lingkungan Pendidikan
Ibn
Miskawaih berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan
kondisi yang baik dari luar dirinya dan mempunyai tabi’at memelihara
diri. Beliau membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari
lingkungan sekolah, lingkungan pemerintah dan lingkungan keluarga yang
kesemuanya itu memberikan pengaruh terhadap lingkungan pendidikan.
Ø Metodologi Pendidikan
Metodologi
pendidikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan
yang lebih baik dari sebelumnya. Metode Ibn Miskawaih dalam mencapai
akhlak yang baik yaitu:
a) Adanya
kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan
diri untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai
dengan keutamaan jiwa.
Menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya agar bisa membedakan baik dan buruknya.
Selain itu ada yang menyampaikan beberapa konsep pendidikan Ibnu Miskawaih yang dinukil dari DR, Qomar Mujamil ,M.Ag., et.al. dalam buku yang berjuduk Meniti Jalan Pendidikan Islam, ., yaitu dapat dijabarkan sebagai berikut ;
1). Pendidikan Agama
Pendidikan Agama merupakan pendidikan dasar, dan pendidikan dasar diberikan ketika anak masih kecil, ketika pribadinya masih mudah di bentuk. Dalam hal ini anak memerlukan adanya bantuan orang lain, dalam hal ini adalah keluarga. Maka seharusnya anak menyerap tradisi, moral dan agama dari lingkungan masyarakat dimana anak itu di lahirkan. Mereka mempunyai hak untuk diberikan hal-hal positif yang terbaik baginya, mereka harus diperkenalkan ajaran agama yang membewa ajaran moral dan mengajarkannya supaya manusia mempunyai budi pekerti yang luhur. Di samping ajaran tentang ketuhanan, ajaran tentang moral merupakan dasar dalam tiap agama.
2). Dasar Kejiwaan
Dalam hal ini, Ibnu Maskawih mengatakan bahwa pendidikan membuat pikiran-pikiran yang lebih jauh melalui alam sehingga manusia itu perlu dididik. Ia menganalogikan bayi yang baru lahir, anak itu secara alamiah tidak baik dan tidak jahat, ia tidak berdosa, pikirannya bersih seperti papan tulis yang belum ada tulisannya pada saat lahir kita mengambil pengaruh lingkungan kita pada tingkat pemahaman yang ia punya pada levl tertentu. Konsep ini pada era modern diidentikkan dengan konsepnya “Jhon Locke”, yang mengatakan anak itu jiwanya seperti tabularasa (kain putih) yang tergantung pada pengalaman yang diperoleh.
3). Akal
Akal Adalah keinginan dan kemarahan, namun untuk menjalankan fungsi ini secara cukup dan hati-hati membutuhkan bimbingan dari hokum tuhan. Tidak seorangpun menyadarkan dirinya sendiri tanpa bantuan. Dia harus menyerapnya dari tradisi moral dan agama dari keluarga dimana ia dilahirkan, walaupun ia dapat menggali untuk mengembangkan dan menyeleksinya melalui belajar sendiri kemudian.
Sikap agamis pada anak diperolah dari kebiasaan (Tradisi) dan lembaga (Instutision). Anjuran imajinasi, pergerakan aktifasi, ide motorik melalui cara meniru (Imitation). Namun sikap agamis dari para muda hakikatnya salah satukeinginan alami untuk mengetahui arti dan pentingnya praktek – praktek ibadah adalah karena agama dapat membimbingnya dalam kehidupannya di dunia.
Pendidikan Agama merupakan pendidikan dasar, dan pendidikan dasar diberikan ketika anak masih kecil, ketika pribadinya masih mudah di bentuk. Dalam hal ini anak memerlukan adanya bantuan orang lain, dalam hal ini adalah keluarga. Maka seharusnya anak menyerap tradisi, moral dan agama dari lingkungan masyarakat dimana anak itu di lahirkan. Mereka mempunyai hak untuk diberikan hal-hal positif yang terbaik baginya, mereka harus diperkenalkan ajaran agama yang membewa ajaran moral dan mengajarkannya supaya manusia mempunyai budi pekerti yang luhur. Di samping ajaran tentang ketuhanan, ajaran tentang moral merupakan dasar dalam tiap agama.
2). Dasar Kejiwaan
Dalam hal ini, Ibnu Maskawih mengatakan bahwa pendidikan membuat pikiran-pikiran yang lebih jauh melalui alam sehingga manusia itu perlu dididik. Ia menganalogikan bayi yang baru lahir, anak itu secara alamiah tidak baik dan tidak jahat, ia tidak berdosa, pikirannya bersih seperti papan tulis yang belum ada tulisannya pada saat lahir kita mengambil pengaruh lingkungan kita pada tingkat pemahaman yang ia punya pada levl tertentu. Konsep ini pada era modern diidentikkan dengan konsepnya “Jhon Locke”, yang mengatakan anak itu jiwanya seperti tabularasa (kain putih) yang tergantung pada pengalaman yang diperoleh.
3). Akal
Akal Adalah keinginan dan kemarahan, namun untuk menjalankan fungsi ini secara cukup dan hati-hati membutuhkan bimbingan dari hokum tuhan. Tidak seorangpun menyadarkan dirinya sendiri tanpa bantuan. Dia harus menyerapnya dari tradisi moral dan agama dari keluarga dimana ia dilahirkan, walaupun ia dapat menggali untuk mengembangkan dan menyeleksinya melalui belajar sendiri kemudian.
Sikap agamis pada anak diperolah dari kebiasaan (Tradisi) dan lembaga (Instutision). Anjuran imajinasi, pergerakan aktifasi, ide motorik melalui cara meniru (Imitation). Namun sikap agamis dari para muda hakikatnya salah satukeinginan alami untuk mengetahui arti dan pentingnya praktek – praktek ibadah adalah karena agama dapat membimbingnya dalam kehidupannya di dunia.
[1] Ibnu maskawaih, tahdzib al akhlaq, bairut : Makhsyurat Dar Maktabah al- Hayat, 1398 cet, II, hlm : 62
[2] Abudin nata, pemikiran oara tokoh pendidikan islam, PT. grafindo, Jakarta 1998, hlm : 12
[1] Abudin nata, pemikiran oara tokoh pendidikan islam, PT. grafindo, Jakarta 1998, hlm : 5
Komentar
Posting Komentar