SYIAH ZAIDIYAH

I. PENDAHULUAN

Jika kita berbicara  tentang biografi Imam Zaid Bin Ali dan semua yang bersangkutan dengannya, tentunya kita tidak bisa lepas dari membicarakan Syi’ah. Karena Imam Zaid adalah pendiri Zaidiyah yang merupakan pecahan dari Syi’ah. Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang hubungan Imam Zaid dengan Syi’ah, alangkah baiknya bila kita mengetahui apa itu Syi’ah?
Syi’ah adalah sekte islam yang pertama kali berdiri, dan awal kemunculannya di Mesir yang kemudian pindah ketanah Iraq. Pindahnya Syi’ah Dari Mesir ke Iraq ada sebab-sebab tertentu, diantaranya adalah karena Iraq sebagai tempat dimana semua aliran keislaman berkumpul disana, juga merupakan bertemunya peradaban-peradaban kuno seperti peradaban Yunani kuno, pemikiran Hindu, dsb. Mereka-kaum Syi’ah- mulai muncul kepermukaan kaum muslimin dengan politiknya pada masa akhir kepemimpinan Utsman Bin Affan, tapi diproklamirkan dan berkembang pesat pada masa khilafah Ali Bin Abi Thalib.
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara[1].
Adapun menurut terminologi syariat, Syi’ah bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau[2].
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya[3].
Adapun yang akan jadi pembahasan kita adalah Syi’ah Zaidiyah yang didirikan oleh Imam Zaid Bin Ali Zainal Abidin. Karena Zaidiyah merupakan pecahan dari Syi’ah dan yang paling menonjol perbedaannya diantara sekian banyak cabang Syi’ah, terutama dalam masalah penentuan imamiyah. Nampaknya agak sulit membedakan antara agama Islam dan Syi’ah. “Serupa tapi tak sama”. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatuk
PEMBAHASASYI’AH ZAIDIYAH
A.    AWAL BERDIRINYA SYI’AH ZAIDIYAH
Syi’ah Zaidiyah adalah suatu sekte yang ajarannya paling dekat pada ahli sunnah. Karenanya sekte ini tak menjerumuskan diri dalam kefanatikan. Pendiri sekte ini ialah Zaid bin Ali Zainul Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.[4] Imam Zaid dilahirkan pada tahun 80 H/ 699 M, sama dengan tahun kelahiran Imam Abu Hanifah.
Walau ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Imam Zaid dilahirkan pada tahun 75 H , perbedaan ini disebabkan karena tidak ada dari ahli sejarah yang mencatat sejarah kelahiran imam Zaid. Tapi riwayat ini ada ketidaksesuaian dengan akhir hayat Imam Zaid sendiri, karena beliau wafat pada usianya yang ke-42 tahun, yaitu pada tahun 122 H/ 741 M. Pendapat ini sudah disepakati oleh jumhurul ulama’ dan ahli sejarah.
Selain itu ada yang menyampaikan bahwa Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin. Beliau  merupakan tokoh alhul biat yang terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi. Tentang Zaid bin Ali zainal Abidin ini, para ulama semisal Ibnu Hibban menyebutkan profilnya dalam kitab At Tsiqah (Jilid I, hlm 146), dan beliau mengatakan, al Jama'ah meriwayatkan darinya (Zaid), serta dari para sahabat Rasulullah. Demikian pula Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i dalam "Musnad 'Ali."[5]
Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam kelima, putra imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin Ali Zainul Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib inilah nama Zaidiyah diambil. Syi’ah Zaidiyah merupakan sekte yang paling moderat .[6]
Sekte Zaidiyah adalah sekte militan ; terkenal dengan keberanian pendirinya untuk keluar medan, memimpin perjuangan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Sekte Zaidiyah ini tidak menolak para khalifah ar-Rasyidin, yang mendahului Ali. Bahkan dalam khotbah-khotbahnya, mereka memohonkan keridhaan Allah bagi khalifah ar-Rasyidin.
Pendiri sekte ini adalah seorang yang sangat bertaqwa kepada Allah. Ia seorang Alim, pemberani, disegani oleh masyarakat, dan tekun dalam memahami dan mengikuti kandungan Kitabullah dan Sunnah. Ia belajar ilmu ilmu Agama dan Hadist-Hadist Rasulullah dari saudaranya Muhammad al-Baqir yang dipandang sebagai ulama besar Syi’ah Imamiyah. Kemudian ia berhubungan dengan Washil bin Atha’ pelopor Mu’tazilah, dan belajar ilmu kalam padanya. Hal inilah yang membuatnya terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah masuk kedalam ajaran –ajaran Zaidiyah. Kepada imam Abu Hanifah ia juga belajar banyak ilmu darinya.[7]
B.     KONSEP AJARAN SYI’AH ZAIDIYAH
 Syi’ah Zaidiyah, memiliki pandangan tersendiri tentang imamah dan ajaran lainnya. Pandangan-pandangan yang dipegang oleh Zaidiyah banyak berbeda dengan paham-paham sekte Syi’ah lainnya : 
a.      Wishayah
Menurut mereka imamah itu tidak melaui nash dan wasiat dari imam yang mangkat kepada imam yang datang sesudahnya (bukan jabatan warisan). Hal ini, karena mereka menilai bahwa nabi Muhammad tidak menunjuk Ali dengan menyebut namanya, tetapi hanya dengan mendeskripsikannya. Dan Ali lah orang yang tepat dengan deskripsi tersebut, karena itulah mereka mengatakan Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada sahabat yang lain.
Mereka membolehkan adanya yang mafdhul di samping adanya imam yang afdhal, yaitu Ali. Berdasarkan konsep ini, mereka memandang Abu Bakar, Umar bin khatab, dan Usman bin Affan adalah sah sebagai khalifah, yang memenuhi syarat menjadi imam sepeninggal Nabi. sekalipun Ali lebih utama (Afdhal) menurut mereka. 
b.      Imamah
Dalam pandangan Syi’ah Zaidiyah, imamah tidak cukup hanya dari keturunan fatimah saja, tetapi harus melalui dua jalan. Yang pertama, imam harus memunculkan dan memproklamirkan dirinya, kedua ini harus mendapat al-bai’at (persetujuan) dari ahl al-hal wa al-aqd.
Pandangan moderat lainnya tentang imamah adalah bahwa imam itu tidak boleh kanak-kanak, dan tidak pula bersikap ghaib. Ia harus mempunyai kemampuan dalam memimpin perang suci, mempertahankan masyarakat, dan seorang mujtahid. Bagi Zaidiyah, imam mungkin saja lebih dari satu pada satu waktu, namun pada tempat yang berbeda. Ketaatan kepada imam hanya dalam kebaikan dan ketetapan pada Allah. 
c.       Ismah (Ma’sum)
Zaidiyah menolak prinsip tentang kesucian imam dari dosa yang besar dan dosa kecil, bagi mereka imam itu hanya orang biasa yang mungkin melakukan kesalahan. Namun sebagian kaum zaidiyah ada yang mensucikan empat orang dari keluarga ahlul bait, yaitu Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain. 

d.      Raj’ah (kehadiran Imam)
Syi’ah zaidiyah menolak ketidakahadiran Imam, karena ahlul hal wa al-aqd hanya dapat memilih imam kalau seandainya calon imam itu ada di tengah mereka, atau menurut mereka kehadiran imam merupakan syarat utama. Oleh karena itu Zaidiyah tidak mengakui tentang keberadaan imam Mahdi yang akan keluar di akhir zaman nanti. 
Mereka berbeda dengan Syi’ah Itsna ‘asyarah, yang membenarkan prinsip Absensi, Syiah Zaidiyah sebaliknya. Karna “ Ahlul halli wal ‘aqdi” ( kelompok ulama dan pemuka-pemuka yang berpengaruh yang memiliki wewenang membatalkan atau menetapkan suatu keputusan) hanya dapat memilih imam, kalau calon imam itu hadir ditengah-tengah mereka. Karnanya[8] calon imam harus hadir.
e.       Iman dengan Qada dan Qadar 
      Mereka mempercayai qada dan qadar, namun manusia juga mempunyai kebebasan dan pilihan untuk taat atau durhaka kepada Allah.
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa Zaidiyah adalah kelompok yang moderat dalam tubuh Syi’ah. Mereka sangat terpengaruh dengan filsafat Mu’tazilah, terutama pemikiran Wasil bin ‘Atha yang terlihat jelas pada penempatan rasio pada tempat yang tinggi dan memberi peran penting pada rasio untuk memperoleh dalil. Pengaruh Mu’tazilah terlihat pada keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dan al-Qur’an itu makhluk serta mereka tidak menerima taqdir dengan begitu saja. Dalam pelaksanaan hukum Islam, Zaidiyah tidak membenarkan perkawinan campuran dan tidak memakan sembelihan orang yang bukan Islam, serta tidak mau shalat di belakang orang yang tidak diketahui kesalehannya[9].

f.        Pintu Ijtihad Terbuka
Pintu ijtihad selalu terbuka lebar bagi setiap orang yang hendak berijtihad. Bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad, maka hendaklah ia bertaklid. Dalam hal ini, bertaklid kepada ahlul bait adalah afdhal.
g.      Kewajiban ke medan tempur
Imam diwajibkan keluar untuk ke medan pertempuran untuk berjuang demi menegakkan keimanannya.
h.      Tak Wajib Patuh Kepada Imam yang Zalim.
Memutuskan ketaatan kepada imama yang zalim. Seorang muslim memutuskan ketaatannya kepada imam (khalifah) yang zalim, sewenang-wenang dan tak berkeadilan.
i.         Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khatab
Menurut kaum Zaidiyah, dalam praktek dapat saja terjadi bahwa seseorang dipilih menjadi imam (khalifah), sedangkan orang yang lebih berhak dan dan lebih afdhal tidak terpilih. Hal seperti dapat terjadi. Sebab, keberhakan dan keafdhalan tidak merupakan syarat dalam pemilihan khalifah. Berdasarkan prinsip inilah, maka kaum Zaidiyah mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman bin Affan (walaupun beberapa tindakan Utsman mereka kecam) namun kekhalifahannya sah.[10]
C.    SETELAH WAFAT IMAM ZAID BIN ALI ZAINAL ABIDIN
Setelah wafatnya Zaid bin Ali Zainal Abidin, para pengikutnya mengklaim beliau  sebagai imam Syi'ah yang kelima. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah (dijuluki; An Nafs Az Azzakiyah) diangkat sebagai Imam. Juga setelah ia wafat, Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai Imam. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abbasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan. Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah.
Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi'ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi'ah Zaidiyah.
Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Ibnu Khaldun menyebutkan, bahwa penentuan keimamahan dalam sekte Zaidiyah dapat pula melalui musyawarah ahlul halli wa al aqdi, dan bukan berdasarkan nash. Mereka juga tidak menolak prinsip Imamah al mafdhul ma'a wujud al afdhal (menerima keimamahan yang lebih rendah derajatnya, sekalipun yang lebih baik dizamannya masih ada).
Dalam perkembangannya Syi'ah Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan kekhilafahan Ali dari khalifah Abu Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka tetap diterima. Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu' ia menganut paham Hanafiyah.
Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah. Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh dengan al Qur'an dan sunnah Nabi.[11]
Sekte-sekte yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah. Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin al Mundziry al 'Abdi. Sekte ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali sebagai imam setalahnya, namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya dengan Isyarat (secara tidak langsung) atau dengan al washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali dibandingkan lainnya). Kitab Tahdizib at Tahdzib (hlm. 386) menyebutkan dirinya sebagai al kadzâb laisa bi tsiqah dikarenakan ia termasuk dalam kelompok Rafidhah (menolak Abu Bakar dan Umar), dan termasuk orang-orang ghuluw yang melampaui batas. Sekte ini kemudian berselisih faham mengenai kepemimpinan setelah Ali dalam jumlah yang banyak.[12]
Sementara itu, sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah dapat ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini ummat telah melakukan sesalahan dalam berbai'at kepada Abu Bakar dan Umar, karena sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi bai'at mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma'a wujud al afdhal.


Akan tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul Mu'minin Utsman bin Affan karena dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka juga mengkufurkan Ummul Mu'minin A'isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah berperang terhadap Ali. Sekte ini juga dikenal dengan al Jaririyah[13].
Pecahan lain dari sekte Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan Katsir an Nu'man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara umum, pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja mereka bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan. Menurut Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni. Oleh karenanya Imam Muslim meriwayatkan beberapa hadits darinya dalam kitab Sahih Muslim-nya. Sementara itu kitab Tahdzib at Tahdzib menyebut Al Hasan sebagai orang yang memiliki kezuhudan, ketaqwaan dan ahli ibadah, faqih dan ahli kalam serta pembesar Syi'ah Zaidiyah yang memiliki beberapa kitab diantaranya; Kitab at Tauhîd, al Jâmi' fî al Fiqh (Tahdzib at Tahdzib, hlm. 285, Ibnu Nadhim, Fahrasat, hlm. 253)[14].
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Isyarat adanya syiah tercium bukan hanya setelah wafatnya Rasullullah SAW. Akan tetapi saat Rasullullah masih hidup pun sudah tercium adanya syiah. Golongan yang berimam Ali ini berkembang pesat, bahkan terpecah belah menjadi beberapa sekte. Salah satunya adalah Syiah Zaidiyah.
Syi’ah Zaidiyah adalah suatu sekte yang ajarannya paling dekat pada ahli sunnah. Karenanya sekte ini tak menjerumuskan diri dalam kefanatikan. Pendiri sekte ini ialah Zaid bin Ali Zainul Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Imam Zaid dilahirkan pada tahun 80 H/ 699 M, sama dengan tahun kelahiran Imam Abu Hanifah.
Sedangkan konsep ajaran Syiah Zaidiyah terbagi menjadi delapan konsep ajaran, antara lain: Wishayah, Imamah, Ismah (Ma’sum), Raj’ah (kehadiran Imam), Iman kepada Qada’ dan Qodar,  Pintu Ijtihad Terbuka, Kewajiban ke medan tempur, Tak Wajib Patuh Kepada Imam yang Zalim, dan Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khatab.
Setelah wafatnya Zaid bin Ali Zainal Abidin, para pengikutnya mengklaim beliau  sebagai imam Syi'ah yang kelima. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Sekte-sekte yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah. 



DAFTAR PUSTAKA
Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi,1996, Jamaluddin,Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl,tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf,Mu'assasah Ar Risâlah:Beirut.
Al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Abi,1948, Al Milal wa an Nihal,Dar Surûr:Beirut
Al Fida' Isma'il Ibnu Katsir,1999, Abi, Al Bidâyah wa an Nihâyah, Dâr al Ma'rifah: Beirut
Annan, Abdullah, 1993,Gerakan-gerakan yang mengguncang dunia islam. Pustaka progressif,Surabaya.
Rozak, Abdul dan Anwar Rosihon, 2001,Ilmu Kalam.Pustaka Setia:Bandung.






[1] Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)
[2] Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
[3] Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani
[4].  Abdullah Annan ,1993. Gerakan-gerakan yang Mengguncang Dunia Islam. Pustaka Progressif. Surabaya. H. 85
[5] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, Beirut: Mu'assasah Ar Risâlah, 1996, Jilid, 10, hlm. 96-98
[6]. Abdul Rozak, Rosihon Anwar,2001. Imu Kalam. Pustaka Setia. Bandung . h.101
[7].  Abdul Annan, op cit., h. 85-86
[8]. Abdul Rozak.Op Cit, h. 86-87
[10].  Abdul Annan. Ibid. h. 87
[11] Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, (Dâr al Ma'rifah: Beirut, 1999)
[12] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal,(Beirut: Dar Surûr,1948)h:255
[13] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, OP.Cit,h:259
[14] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, OP.Cit.h:261

Komentar