ALIRAN MU'TAZILAH

PENDAHULUAN
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.
Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini, yang pada intinya penulis ingin sedikit berbagi informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum Mu’tazilah itu?.
Untuk memperjelas arah pembahasan maka penulis disini akan membatasi pembahasan kedalam 3 materi pokok: Pertama, Asal Usul Mu’tazilah, di dalamnya terdapat pembahasan tentang sisi latar belakang kemunculan Mu’tazilah, Kedua, Ide-Ide Teologis Mu’tazilah, yang mencakup pembahasan al-Ushul al-Khamsah, yang di dalamnya akan ditemukan bagaimana pandangan umum Mu’tazilah tentang sifat Tuhan, iman dan kufur, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, posisi akal dan wahyu dan metode teologi mereka, Ketiga, Mihnah, karena tidak lengkap rasanya jika dalam pembahasan tentang Mu’tazilah jika tidak dibahas tentang persoalan ini. Dan penulis rasa perlu memisahkannya dari pembahasan bagian kedua, karena mihnah sendiri menurut hemat penulis adalah efek historis terbesar dari ide-ide teologis Mu’tazilah.
ASAL USUL KENAMAAN MU'TAZILAH
Term mu’tazilah merupakan ism fa’il yang berakar dari kata ‘azala-i’tazala, yang berarti memisahkan-menyingkir atau memisahkan diri. Maka secara bahasa Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri. Sedangkan untuk memahami Mu’tazilah dari sudut pandang terminologi, dalam hal ini Mu’tazilah sebagai sebuah kelompok atau aliran, perlu kiranya ditelusuri kapan, untuk siapa pertama kali istilah ini digunakan dan mengapa?.
Dari literatur yang penulis dapatkan, terdapat dua versi tentang awal penggunaan term ini:
Pertama, Mu’tazilah adalah istilah yang digunakan bagi kelompok pengikut Washil bin ‘Atha’ (80 H-131 H) yang memisahkan diri dari halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri (21 H-110 H). Hal ini dapat ditemukan dalam al-Milal wa al-Nihal, al-Syahrastani berkata :
“…seseorang mendatangi halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri, lalu bertanya: “Wahai Imamuddin (guru besar agama), di zaman kita ini telah muncul suatu jemaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar, karena menurut mereka dosa besar itu kufur, mengeluarkan mereka dari agama, mereka itulah golongan Khawarij. Dan ada juga golongan lain yang menangguhkan hukum pelaku dosa besar, dan dosa besar itu sendiri menurut mereka tidaklah merusak keimanan, karena mereka menganggap amal tidak termasuk bagian dari iman, dan perbuatan maksiat tidak akan merusak iman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bagi kekufuran, mereka itulah golongan Murji’ah. Maka bagaimanakah Anda memberikan keputusan kepada kami tentang masalah ini dari sisi akidah?”. Lalu al-Hasan berfikir menimbang-nimbang, sebelum sempat beliau menjawab, Washil bin ‘Atha’ berkata: “Saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin sepenuhnya (mutlak) dan juga tidak kafir sepenuhnya (mutlak), melainkan dia berada di suatu tempat antara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain), tidak mukmin dan tidak juga kafir”, kemudian dia berdiri meninggalkan majelis, pindah ke sisi masjid lainnya, untuk mengajarkan pahamnya kepada segolongan murid (pengikut) al-Hasan, kemudian al-Hasan berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita ( اعتزل عنا واصل )”, maka dinamakanlah dia dan para pengikutnya dengan Mu’tazilah”.
Dari teks tersebut jelas bahwa tindakan Washil yang memisahkan diri dari majelis al-Hasan al-Bashri merupakan sebab penamaan mereka dengan Mu’tazilah, dan yang mengungkapkan istilah itu adalah Imam al-Hasan al-Bashri. Ini adalah versi yang paling banyak dipakai.
Aliran ini muncul di zaman Bani Umayyah. Penulis belum menemukan literatur yang secara pasti menyebutkan tahun berapa terjadinya peristiwa yang disebutkan al-Syahrastani di atas, namun dengan memperhatikan usia tokoh-tokoh yang terlibat dalam kemunculannya, maka bisa diperkirakan bahwa aliran ini muncul di sekitar tahun 100 H-110 H, dan ini sesuai dengan pendapat al-Maqrizi yang mengatakan bahwa mereka muncul setelah abad I Hijriyah.
Kedua , Mu’tazilah adalah kelompok yang tidak ingin terlibat dalam sengketa panjang antara golongan Ali dan Mu’awiyah, khususnya lagi ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah . Mereka lebih memilih untuk meniggalkan urusan-urusan politik dan menghabiskan waktu untuk beribadah dan memperkuat akidah dengan metode pemahaman Ulama Salaf. Maka bisa dikatakan bahwa politik adalah penyebab munculnya kelompok ini.
Penggunaan istilah Mu’tazilah untuk mereka dapat dilihat dalam perkataan beberapa penulis sejarah klasik, seperti yang dikutip Ali Mushthafa al-Gharabi dari ungkapan Abul Fida’ dalam bukunya al-Akhbar: “…dan mereka menamai kelompok tersebut (yang memisahkan diri dari golongan Ali dan Mu’awiyah) dengan Mu’tazilah karena mereka tidak ikut membai’at Ali”. Beliau juga mengutip dari kitab al-Aghani: “..dan ayah Sya’ir, Ayman bin Khuzaim, adalah salah seorang yang memisahkan diri atau tidak ikut terlibat (اعتزل) dalam perang Jamal dan Shiffin, dan dia juga tidak ikut dalam peristiwa-peristiwa setelah kedua perang tersebut”. Demikian juga yang beliau dapatkan dari Tarikh al-Thabari, bahwa Qais bin Sa’ad menulis surat kepada Ali: “Saya menghadapi orang-orang mu’tazilah/yang mengasingkan diri (rijalan mu’tazilin), mereka meminta saya agar membiarkan mereka samapi kondisi umat stabil”.
Mu’tazilah versi ini diperkirakan muncul sekitar tahun 35 H atau 36 H, karena Ali Mushthafa al-Gharabi mengutip perkataan Abul Fida’ tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 35 H, dan mengutip dari Tarikh al-Thabari tentang peristiwa tahun 36 H.
Dari dua versi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Mu’tazilah versi pertama dan kedua berbeda dari sisi latar belakang munculnya. Versi pertama muncul dilatarbelakangi oleh masalah akidah (teologi), yaitu tentang nasib pelaku dosa besar, sedangkan versi kedua muncul dilatarbelakangi oleh masalah politik, yaitu konflik politik antara golongan Ali dan Mu’awiyah yang berujung pada penyerahan kekuasaan oleh Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah.
2. Mu’tazilah versi kedua lebih dahulu muncul dari Mu’tazilah versi pertama.
3. Yang menjadi objek pembahasan makalah ini tentunya versi yang berkaitan dengan teologi, yaitu Mu’tazilah versi pertama yang memang Mu’tazilah inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang membicarakan term Mu’tazilah di sepanjang zaman sejak munculnya.
Meskipun kedua versi ini berbeda, namun C.A. Nallino, seorang orientalis Italia, berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah yang muncul belakangan mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah yang muncul pertama kali, dan Mu’tazilah kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama. Pendapat ini berdasarkan kepada pendapat al-Mas’udi yang lebih cenderung mengatakan bahwa Mu’tazilah adalah golongan yang berdiri netral di antara Khawarij, yang memandang Utsman, Ali, dan Mu’awiyah dan pelaku dosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah, yang memandang mereka tetap mukmin. Barangkali Nallino melihat ada titik temu antara kedua kelompok ini dari sisi politik, bahwa Mu’tazilah pertama murni terbentuk karena faktor politis, sedangkan yang kedua walaupun pada dasarnya terbentuk karena faktor teologis, namun faktor teologis itupun berakar pada faktor politis yang tidak jauh beda dengan faktor politis yang membentuk Mu’tazilah versi pertama. Namun meskipun ada pertalian antara keduanya, kita agak sedikit kesulitan menganalisa sisi lain yang cukup berbeda dari kedua kelompok ini, bahwa Mu’tazilah pertama cenderung meninggalkan masalah politik dan berkosentrasi pada urusan ibadah serta berakidah seperti paham Ulama Salaf yang tidak merasionalkan masalah-masalah keimanan dan hal-hal ghaib secara mendalam, sementara Mu’tazilah generasi kedua justru dengan pembahasan masalah dosa besar itu, mereka secara tidak langsung terlibat dalam masalah politik, dan mulai lari dari paham akidah Ulama Salaf. Maka, penulis melihat pendapat Nallino tersebut tidak bisa diterima secara utuh, dan juga tidak bisa ditolak secara utuh, karena sesuatu yang tidak bisa diterima secara utuh, juga tidak bisa ditolak secara utuh (ma la yuqbalu kulluh la yutraku kulluh), artinya masih bisa diperdebatkan secara bebas (qabil lin niqasy).
Dengan memperhatikan penjelasan diatas, maka istilah Mu’tazilah yang penulis maksud dalam makalah ini adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid.
Walaupun Mu’tazilah yang dibangun Washil bin ‘Atha’ baru muncul pada akhir abad I H atau awal abad II H, akan tetapi di dalam literatur mereka, Mu’tazilah justru mengatakan bahwa mazhab mereka sudah ada, jauh sebelum perinstiwa antara Washil dan al-Hasan al-Bashri. Mereka memasukkan banyak Ahlul Bait ke dalam barisan mereka, demikian juga dengan al-Hasan al-Bashri, karena ia memiliki ide yang tidak jauh beda dengan mereka dalam masalah takdir dan pelaku dosa besar. Bahkan Ibnu al- Murtadha dalam kitab al-Munyah wa al-Amal menyebutkan ranji silsilah mazhab mereka sampai kepada Rasulullah SAW .
Penulis sendiri melihat bahwa aliran ini sebagai sebuah ide (fikrah dan madrasah) sudah ada sebelum keberadaan Washil bin ‘Atha’, sedangkan yang terjadi pada masa Washil adalah munculnya aliran ini sebagai sebuah kelompok (firqah). Sama seperti ideologi-ideologi lain yang ada di dunia, penulis juga meyakini bahwa Mu’tazilah sebagai sebuah ideologi tidak bisa dikikis habis dari muka bumi, paling kurang semangatnya akan terus ada.
Para pakar memiliki beragam alasan tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, namun semua pada intinya semua alasan berkisar sekitar arti kata-kata í’tazala (memisahkan diri, menjauhkan diri, atau menyalahi pendapat orang lain). Diantara alasan-alasan tersebut sebagai berikut :
1. Disebut Mu’tazilah, karena Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amru bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian al-Hasan al-Basri di mesjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mukmin secara mutlak, juga tidak kafir secara mutlak, melainkan berada di suatu tempat di antara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena sikap ini, maka mereka disebut “orang Mu’tazilah” (orang yang menjahakn diri/memisahkan diri).
2. Menurut riwayat lain, disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan Murji’ah mengatakan bahwa pelaku dosa besar masih termasuk orang mukmin. Menurut golongan Khawarij Azariqah, ia menjadi kafir. Datanglah Washil bin ‘Atha’ untuk mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin, bukan pula kafir, melainkan menjadi fasik. Menurut riwayat ini, sebab penamaan ini lebih bersifat ma’nawiyah, yaitu menyalahi pendapat orang lain, sedangkan sebab penamaan yang pertama bersifat lahiriyah, yaitu pemisahan secara fisik (menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain).
3. Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan orang-orang mukmin dan juga golongan orang-orang kafir. Perbedaan riwayat ini dengan yang sebelumnya (kedua) adalah: menurut riwayat kedua, kemu’tazilahan (i’tizal) menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri karena mereka mencetuskan pendapat baru yang menyalahi orang-orang sebelumnya, sedang menurut riwayat ketiga, kemu’tazilahan (i’tizal) pada awalnya menjadi sifat si pelaku dosa besar itu sendiri, kemudian menjadi sifat/nama golongan yang berpendapat demikian (yaitu pelaku dosa besar memisahkan diri dari orang-orang mukmin dan orang-orang kafir).
Dari penjelasan di atas, tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, jelas bahwa penamaan ini bukanlah berasal dari kalangan Mu’tazilah sendiri, namun dari pihak lain, dalam hal ini secara kongkritnya adalah al-Hasan al-Bashri yang mengungkapkan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita” (اعتزل عنا واصل). Kalangan Mu’tazilah sendiri pada awalnya tidak senang dengan sebutan ini, sebab sebutan ini bisa disalahartikan oleh lawan-lawannya dengan konotasi negatif untuk menyudutkan mereka. Karena tidak ada jalan untuk menghindarinya, sehingga merekapun mengemukakan alasan kebaikan penggunaan nama Mu’tazilah bagi mereka, seperti yang dilakukan Ibnu al-Murtadha dalam kitab al-Munyah wa al-Amal, dia mengatakan bahwa mereka sendiri yang memberikan nama itu atas diri mereka, bukan kelompok lain, dan mereka tidak menyalahi Ijmak, akan tetapi sebaliknya justru mereka menggunakan Ijmak yang ada di masa-masa awal Islam. Bahkan Ibnu al-Murtadha juga menggunakan al-Qur’an dan Hadits untuk mendukung penamaan ini, seperti:
1. QS. Al-Muzammil: 10
“..dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
Menjauhi mereka adalah dengan i’tizal (memisahkan diri) dari mereka.
2. Hadits:
من اعتزل الشر سقط في الخير
“Siapa yang menjauhi keburukan, akan jatuh dalam kebaikan”
Sesungghnya yang dilakukan Ibnu al-Murtadha ini hanyalah usaha untuk menutupi kelemahan dan membantah tudingan-tudingan negatif dari lawan-lawan mereka.
Disamping Mu’tazilah, banyak nama lain yang mereka sandang, seperti Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid, Ahlu al-Haq, al-Qadariyah, al-Jahmiyah, al-Khawarij, al-Wa’idiyah, dan al-Mu’aththilah. Namun mereka lebih menyukai istilah Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid (golongan keadilan dan tauhid) sebagai nama bagi golongan mereka. Istilah ini diambil dari dua prinsip dari lima prinsip yang menjadi dasar seluruh ajaran mereka (al-ushul al-khamsah).
Meskipun banyak kalangan yang mengkonotasikan nama Mu’tazilah dengan makna negatif, tapi pada dasarnya istilah ini adalah istilah biasa yang netral, tidak berkonotasi positif ataupun negatif, hanya saja pada masa-masa berikutnya dalam perkembangan aliran ini, mereka mulai memunculkan paham-paham yang dianggap aneh dan berbahaya oleh jumhur, sehingga lambat laun istilah ini menjadi berkonotasi negatif.
IDE POKOK MU'TAZILAH
3.1. Al-Ushul Al-Khamsah
Dalam perkembangan pemikirannya, para penganut aliran Mu’tazilah tidaklah selalu berada dalam satu garis yang sama, juga sering terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, perbedaan ini misalnya bisa dilihat pada buku Maqalat al-Islamiyin karangan Abu al-Hasan al-Asy’ari, dimana terdapat silang pendapat panjang antara tokoh-tokoh Mu’tazilah tentang sifat Allah SWT al-’Alim. Namun perbedaan-perbedan itu semua bagi mereka masih dalam ruang lingkup masalah furu’. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh sikap mereka yang banyak lebih berpegang pada akal daripada naql atau nash, dan faktor pendorong mereka membahasa masalah-masalah tersebut adalah karena masalah-masalah tersebut tidak dibicarakan oleh nash al-Qur’an maupun Hadits, sedangkan masalah-masalah yang dibicarakan secara qath’i di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada perbedaan diantara mereka, dari nash-nash qath’i itu mereka membuat dasar atau pokok (ushul) pemikiran yang mereka sepakati, sedang yang di luar ushul itu mereka berikan kebebasan bagi akal untuk membahasnya.
Ada banyak hal yang disepakati Mu’tazilah dalam ide-ide teologinya , namun semuanya akan bermuara pada 5 hal pokok yang disebut al-Ushul al-Khamsah, yaitu:
1. Al-Tauhid (Tauhid)
2. Al-’Adl (Keadilan)
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
5. Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menyuruh Kebaikan dan Melarang Keburukan)
Lima hal pokok itu merupakan standar bagi kemu’tazilahan seseorang, dengan artian seseorang baru dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut dan mengakui kelima hal tersebut, namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak pantas menyandang nama Mu’tazilah .
Terbentuknya al-Ushul al-Khamsah terjadi setelah melalui sebuah proses. Pada masa Washil baru terbentuk 4 dasar:
1. Al-Tauhid wa al-Tanzih (Tauhid dan Pensucian)
2. Manusia mampu berbuat dan menciptakan perbuatannya sendiri (al-Qadr)
3. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
4. Meyakini bahwa pasti ada salah satu pihak yang salah dalam pertikaian antara Utsman r.a dan lawan-lawannya, dan Ali r.a dan lawan-lawannya, namun tidak bisa dijelaskan pihak mana yang salah itu.
Kemudian empat hal ini pada gilirannya berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran di kalangan Mu’tazilah, sehingga menjadi lima, sebagaimana di atas, ketika kepemimpinan Mu’tazilah beralih ke tangan Abu al-Hudzail al-’Allaf (w. 235 H) dan Ibrahim bin Sayyar al-Nazhzham (w. 231 H).
Sebagian kalangan mengatakan al-Ushul al-Khamsah ini adalah rukun iman mereka, atau mereka mengatakan bahwa Mu’tazilah menambah atau merubah rukun iman dengan lima hal ini. Penulis menilai pandangan ini terlalu berlebihan, dan penulis lebih cenderung mengatakan lima hal ini adalah sebuah usaha Mu’tazilah untuk menjelaskan konsep ushul (hal prinsipil) dalam teologi Islam dalam pandangan mereka. Sehingga dengan mengetahui hal ushul ini dapat dilihat perbedaannya dengan hal furu’ (hal cabang/teknis), yang pada gilirannya memperjelas hal apa saja yang tidak boleh diperdebatkan dan yang boleh diperdebatkan. Barangkali sama halnya dengan konsep para ulama tentang hal-hal qath’i dalam Islam yang kemudian disebut dengan al-Ma’lum min al-Din bi al-Dharurah.
3.1.1. Al-Tauhid (Tauhid/Keesaan)
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian) . Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih.
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut:
“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering (yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan dalam (‘umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam (yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’). Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi. Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak). Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun). Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (‘ahat), tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan (mustahil dipikir dan diterka), Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu, Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera). Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim (Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah) selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab ‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’), mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak memiliki sedikitpun sifat lemah (‘ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri dan beranak.
Dari kutipan tersebut di atas, A. Hanafi M.A berkesimpulan:
1. Aliran Mu’tazilah mengenal pikiran-pikiran filsafat yang ada pada masanya, serta memakai beberapa istilahnya, seperti Syakhsh, Jauhar, ‘Aradh, Hulul, Qadim dan sebagainya.
2. Dengan perkataan “Laysa Kamitslihi Syai’ (Tidak ada yang menyamai-Nya)” mereka menolak pikiran-pikiran golongan Mujassimah (Anthromorpis) dan membuka luas pintu takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menyifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia dengan takwil majazi.
3. Dengan Tauhid yang mutlak, aliran Mu’tazilah menolak konsepsi agama dualisme dan trinitas tentang Tuhan.
4. Dengan perkataan “Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak)”, mereka menolak kepercayaan orang Nasrani, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilahirkan dari Tuhan Bapa sebelum masa dan jauharnya juga sama.
5. Dengan perkataan “Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq)”, mereka menolak teori Idea (contoh) dari Plato dan Demiurge, juga teori Emanasi (limpahan) atau Triads yang dianggap menguasai alam semesta ini oleh aliran Neo-Platonisme, yaitu Tuhan (Yang Pertama), Logos, dan Jiwa Dunia (Worldsouls) .
Disamping kesimpulan tersebut, penulis juga ingin menegaskan sebuah kesimpulah bahwa pada intinya Mu’tazilah ingin mengatakan bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
1. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut. Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah. Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’), yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
الله عالم بذاته لا بعلمه, و قادر بذاته لا بقدرته و مريد بذاته لا بارادته
“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.
Berbeda dengan jumhur Mu’tazilah, al-’Allaf berpendapat agak berbeda, dia mengatakan: “Allah Mengetahui dengan Ilmu, Ilmu itu adalah Dzat-Nya, Allah Berkuasa dengan Kuasa, Kuasa itu adalah Dzat-Nya, dan Berkehendak dengan Kehendak (iradah), Kehendak itu adalah Dzat-Nya”. Pendapat ini tidak berbeda dengan jumhur Mu’tazilah dari sisi bahwa sifat-sifat itu pada dasarnya adalah ‘ain dzat, namun pendapat ini dikritik, karena memiliki arti, bahwa Ilmu Allah adalah Allah, sementara menurut logika “orang yang mengetahui” bukanlah “ilmu/pengetahuan” itu sendiri.
Itu diantara sedikit perbedaan dikalangan Mu’tazilah tentang sifat Allah, namun pada intinya mereka semua bersepakat menolak pendapat Asya’irah yang mengatakan bahwa Sifat Allah itu suatu tambahan terhadap Dzat (za’idah ‘ala al-dzat). Dari sisi ini Zuhdi Jarullah, mengutip al-Ghazali dari bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, mengatakan Mu’tazilah berada pada posisi yang tepat, dan Asya’irah juga benar sampai batasan pendapat mereka bahwa Sifat Allah Qadim dan menyatu dengan Dzat (qa’imah bi al-dzat), namun ketika mereka menjelaskan konsep ini dengan bahwa Sifat-Sifat itu bukan ‘ain dzat (Dzat itu sendiri) melainkan za’idah ‘ala dzat, mereka telah melakukan sebuah kekeliruan.
2. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Di atas dijelaskan bahwa Mu’tazilah tidak mengingkari Sifat yang Qadim jika yang dimaksudkan adalah ‘ain dzat, yang mereka ingkari adalah bahwa jika Sifat itu membawa kepada banyaknya yang Qadim, yaitu jika Sifat itu za’idah ‘ala dzat (tambahan terhadap Dzat) atau wara’ dzat (dibelakang/luar Dzat).
Tapi ketika berbicara tentang Kalam (Firman Allah), mereka seolah-olah tidak lagi berpegang pada kesimpulan di atas. Mereka mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu. Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab “bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
Mu’tazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon tersebut, lalu Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan kemampuan bagi pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa as. mendengar Kalamullah melalui perantaraan pohon itu.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
3. Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat (baca: di sorga), membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)
Mereka mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية) malainkan menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (الآلاء) yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”.
Mereka juga mentakwil ayat:
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS. Al-Nur: 35)
Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.
Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
4. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain sebagainya.
5. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.

Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya. Tujuannya tetap satu, yaitu Tanzih.
3.1.2. Al-’Adl (Keadilan)
Secara etimologi, al-’adl (العدل) merupakan bentuk mashdar dari ‘adala (عدل) – ya’dilu (يعدل) yang berarti berbuat adil, bisa digunakan dengan makna perbuatan (baca: berbuat adil), bisa juga digunakan dengan makna pelaku (baca: orang yang adil).
Sedangkan dari sisi terminologi, jika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah SWT adil (innahu Ta’ala ‘adl) maka maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan-Nya baik (hasan), Dia tidak melakukan suatu yang buruk (qabih), dan Dia tidak pernah melalaikan kewajiban-Nya .
Konsep keadilan Tuhan versi Mu’tazilah masih berkaitan erat dengan konsep Tanzih mereka, yaitu bahwa sangat tidak sesuai sekali dengan konsep Tanzih jika Allah SWT menghukum manusia atas dosa yang tidak pernah diinginkannya, karena yang seperti adalah zalim, dan zalim merupakan sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Tuhan), dimana Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Konsep keadilan Tuhan ini juga berlandaskan pada konsep mereka tentang prinsip kebebasan (hurriyah), usaha (ikhtiyar), dan pengingkaran mereka terhadap prinsip paksaan (jabr), dengan arti kata semua ini berlandarkan pada konsep teologis tentang Qadar.
Abu Zahrah mengutip al-Mas’udi yang menjelaskan tentang konsep keadilan ini menurut versi Mu’tazilah :
“Keadilan Tuhan maksudnya adalah bahwa Allah SWT tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia (af’al al-’ibad), melainkan mereka bebas memilih untuk melaksanakan perintah-Nya atau melanggarnya dengan qudrah (kemampuan/potensi) yang telah diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT hanya memerintahkan sesuatu yang Dia ingini (sukai), dan hanya melarang sesuatu yang Dia benci. Dia menguasai atas setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya (wala kulla hasanah amara biha), dan Dia terbebas dari semua keburukan yang dilarang-Nya (bari’ min sayyi’ah naha ‘anha) . Dia tidak membebani mereka (manusia) dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, dan tidak menginginkan bagi mereka sesuatu yang tidak sanggup mereka lakukan. Dan siapapun tidak akan mampu menahan dan melepas (melakukan) sesuatu kecuali dengan kemampuan (qudrah) yang diberikan Allah padanya, Dia pemilik qudrah tersebut, bukan mereka, Dia bisa menghilangkannya jika Dia berkehendak. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memaksa seluruh makhluk untuk taat pada-Nya, dan memaksa mereka untuk tidak berbuat maksiat pada-Nya, akan tetapi Dia tidak melakukan hal itu, karena itu akan menghilangkan makna mihnah (ujian) dan balwa (musibah).”
Kelanjutan dari prinsip-prinsip di atas melahirkan beberapa ide-ide khas Mu’tazilah :
1. Allah menciptakan makhluk atas dasar tujuan dan hikmat kebijksanaan, ini selanjutnya merupakan salah satu inti sari dari pendapat Mu’tazilah bahwa semua perbuatan Allah ada sebab dan tujuannya (af’alullah mu’allalah).
2. Allah tidak menghendaki keburukan dan tidak pula memerintahkannya, ini merupakan salah satu isi konsep al-Shalih wa al-Ashlah (yang baik dan yang terbaik) dalam teologis Mu’tazilah.
3. Manusia mempunyai kemampuan (qudrah) untuk mewujudkan/menciptakan perbuatannya, sebab dengan cara demikian, dapat dipahami adanya perintah-perintah Allah, janji dan ancaman-Nya, dosa dan pahala, sorga dan neraka, ujian dan musibah yang diberikan-Nya, pengutusan Rasul-Rasul, dan tidak ada kezaliman pada Allah. Ini adalah konsep yang mereka sepakati dalam masalah Qadha (ketetapan) dan Qadar (takdir) Allah, serta kaitannya dengan masalah perbuatan manusia yang sebelumnya telah diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah, oleh sebab konsep ini pula mereka terkadang disebut Qadariyah.
4. Allah harus (mesti) mengerjakan yang baik dan yang terbaik. Karena itu, menjadi kewajiban Allah untuk menciptakan manusia, memerintahkan manusia dan membangkitkannya kembali, ini juga bagian dari konsep al-Shalih wa al-Ashlah, dan juga berkaitan dengan konsep Luthf (rahmat Allah), dimana Allah menciptakan Luthf sebagai potensi bagi manusia untuk mengikuti rahmat dan hidayah Allah, tetapi meskipun demikian manusia tetap saja pilihan-pilihan manusia yang tampak dalam tindakan dan perbuatannya adalah ciptaan manusia bukan ciptaan Allah .
5. Sebagai salah satu bukti keadilan Allah dan kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya, Allah SWT menciptakan akal bagi manusia, yang bisa membedakan baik dan buruk. Dari sisi ini kemudian lahirlah konsep Mu’tazilah yang berkaitan dengan posisi dan fungsi akal bagi manusia, yaitu bahwa manusia yang berakal dengan akalnya mampu membedakan antara sesuatu yang baik dan yang buruk, sebelum datangnya Syari’at, bahkan lebih dari itu mampu untuk mengenal Allah SWT (ma’rifatullah), jika dia tidak menggunakan akalnya untuk mengenal Allah maka dia berhak dihukum selama-lamanya . Imam al-Ghazali di dalam bukunya al-Mustashfa, sebagaimana dikutip oleh Zuhdi Jarullah, menjelaskan bahwa Mu’tazilah membagi perbuatan kepada dua jenis: baik dan buruk, dan mereka berpandangan bahwa manusia mampu membedakan perbuatan baik dan buruk dengan akalnya, sebelum datangnya Syari’at (wahyu). Hal itu boleh jadi melalui hukum dharurah al-’aql (yang pasti langsung diterima akal tanpa perenungan), seperti baiknya tindakan menyelamatkan orang yang tenggelam, baiknya kejujuran, buruknya berdusta, atau boleh jadi juga melalui hukum nazhar al-’aql (yang bisa diterima akal setelah melalui perenungan), seperti mengetahi baiknya kejujuran meskipun mengandung bahaya dan mengetahui buruknya berdusta meskipun mengandung manfaat. Baik-buruknya semua perbuatan itu dapat diketahui akal kecuali perbuatan-perbuatan Ibadah, karena yang seperti ini media untuk mengetahuinya adalah pendengaran bukan akal.
Dari penjelasan tersebut tidak dikatakan bahwa Mu’tazilah lebih mendahulukan wahyu dari akal, yang ada justru akal “bisa/mampu” mengetahui baik dan buruk meskipun wahyu tidak diturunkan, dan ini khusus bagi perbuatan-perbuatan non-Ibadah, sedangkan perbuatan ibadah harus melalui pendengaran (perantaraan rasul dan wahyu). Dan kata “bisa” atau “mampu” bukan berarti Mu’tazilah mengingkari keterbatasan akal dan meninggalkan wahyu. Dr. Yahya Jaya membantah hal itu dalam bukunya Teologi Agama Islam Klasik dengan menyatakan bahwa sifat kerasionalan Mu’tazilah tetap terikat kepada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (nash qath’i), dan jika tidak ada al-Qur’an atau Hadits yang mengikat (qath’i), baru mereka bebas brfikir dalam masalah agama. Dengan kata lain mereka juga memerlukan wahyu, karena akal manusia terbatas untuk mengetahui mana yang sebenarnya baik dan buruk serta bagaimana caranya beribadat kepada Allah. Antara akal dan wahyu terdapat penyesuaian dan apa yang dibawa wahyu pasti benar sesuai pemikiran rasional. Fungsi wahyu adalah untuk memperkuat yang telah diketahui akal.
Sejalan dengan itu maka yang terjadi sebenarnya adalah Mu’tazilah bukannya mendahulukan akal dari wahyu melainkan memberikan porsi yang lebih banyak kepada akal dalam memahami teks-teks wahyu dan masalah-masalah agama.
3.1.3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi. Sehingga tidak ada pengampunan bagi seorang pelaku dosa besar kecuali taubat, sebagaimana tidak ada halangan bagi siapapun yang melakukan kebaikan untuk mendapatkan ganjaran baik.
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
3.1.4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Seperti yang telah terdahulu, asas ini merupakan ide Washil bin ‘Atha’ ketika menanggapi masalah pelaku dosa besar, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak juga kafir melainkan fasik. Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh Abu Zahrah melalui kutipan dari al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya). Dan Mu’tazilah memandang orang fasik pelaku dosa besar semasa hidupnya tetap bisa disebut Muslim, tanpa bermaksud untuk memuliakan dan memujinya, karena mereka masih dianggap Ahlul Qiblah, dan masih bberpeluang bertaubat, paling kurang untuk membedakannya dengan orang Dzimmi.
Ali Mushtafa al-Gharabi memparkan bahwa iman dalam pandangan Mu’tazilah memiliki tiga rukun: qaul, ma’rifah, dan ‘amal. Qaul (ucapan) harus benar-benar bisa menjelaskan apa yang ada di hati, dan tidak mungkin bisa membedakan antara mukmin dan yang tidak mukmin kecuali dengan ucapan lisan. Dan Ma’rifah (pengetahuan) mereka anggap sebagai bagian dari iman, sehingga mereka menolak taklid dalam beriman, hal ini menyebabkan mereka sangat memperhatikan bahasan-bahasan logika. Sedangkan ‘Amal (amal perbuatan) juga menjadi rukun penting bagi keimanan dalam konsep Mu’tazilah, hanya saja meninggalkan amal tidak menjadikan seseorang kafir secara mutlak, melainkan akan menjadikannya fasik, karena pada dirinya terdapat dua bagian iman lainnya, yaitu qaul dan ma’rifah. Inilah sebenarnya dasar pendapat mereka tentang al-Manzilah baina al-Manzilatain.
Jadi bagi Mu’tazilah patokan iman seseorang adalah tiga hal di atas (qaul, ma’rifah, dan ‘amal), jika ketiga hal itu tidak ada pada diri seseorang baru bisa dikatakan seseorang itu kafir, sedangkan jika pada diri seseorang hanya terdapat sebagiannya saja, maka dia disebut fasik, tidak kafir.
3.1.5. Al-Amru bil Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menyuruh Kepada Kebaikan dan Melarang Keburukan)
Prinsip ini merupakan prinsip yang diakui dan menjadi kewajiban seluruh umat Islam, karena perintahnya jelas di dalam al-Qur’an dan Hadits. Dan yang ingin diwujudkan dengan adanya prinsip ini adalah untuk mewujudkan secara praktis prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan dalam tingkah laku sosial.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya. Dan prinsip ini jugalah yang menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya Mihnah di zaman Abbasiyah.
3.2. Mihnah
Mihnah dari sisi kebahasaan berakar dari kata mahana (محن), yamhanu (يمحن), mahnan (محنا), yang berarti mencoba dan menguji, sedangkan mihnah sendiri juga bisa berarti cobaan atau bencana. Jadi bisa saja dibaca mahnah atau mihnah, karena makna dasarnya sama, hanya saja yang kedua lebih sering dikonotasikan dengan musibah dan bencana.
Adapun mihnah yang dimaksudkan di sini adalah ujian keimanan yang dilakukan Mu’tazilah terhadap masyarakat, khususnya para ulama dan cendikiawan, dengan memanfaatkan pengaruh mereka pada diri tiga orang khalifah Abbasiyah: al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq.
Mihnah ini terjadi sekitar tahun 198 H-232 H, dimana Mu’tazilah mendapatkan posisi penting di hati khalifah. Dengan berlandaskan prinsip amar ma’ruf nahi munkar mereka mencoba memaksakan ide-ide teologis mereka kepada masyarakat.
Adalah Ahmad bin Abu Du’ad yang menjadi tokoh sentral peristiwa minhah ini. Beliau memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Khalifah al-Makmun. Dengan kedekatan hubugnan itu, dia berusaha mempengaruhi Khalifah terutama soal ide “al-Qur’an Makhluk” dan menelurkan ide untuk melaksanakan ujian (mihnah).
Usahanya itu berhasil, dan pada tahun 212 H mulailah al-Makmun menganut paham “al-Qur’an Makhluk’-nya Mu’tazilah. dan baru pada tahun 218, ketika mengunjungi Damaskus, dia melakukan mihnah terhadap penduduk Damaskus seputar masalah al-Adl (Keadilan) dan Tauhid, dua prinsip pokok Mu’tazilah. Setelah itu baru dilaksanakan ujian tentang permasalahan al-Qur’an terhadap seluruh Qadhi, para saksi, dan Ulama Hadits di Baghdad dengan mengirimkan surat perintah kepada Kepala Syurthah, Ishaq bin Ibrahim, untuk melakukannya.
Lalu mulailah mihnah itu dilaksanakan oleh Ishaq terhadap para Ulama, dan termasuklah di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal. Semua mereka mengatakan al-Qur’an Kalamullah, tapi mereka tidak mau mengatakan al-Qur’an Makhluk, karena demikianlah pandangan Salaf, yaitu tawaqquf (berhenti membahas) hakikat kalamullah itu.
Jawaban tiap orang itu dikirim ke al-Makmun, dan al-Makmun menjawab dengan mengatakan bahwa mengatakan al-Qur’an qadim adalah bentuk kekufuran yang nyata dan syirik, sehingga dia memerintahkan mereka semua untuk bertaubat, siapa yang bertaubat, maka akan diangkat namanya dan diberikan keamanan, namun siapa yang tidak mau bertaubat maka akan ditahan dan dikirim menghadap Khalifah agar beliau langsung yang menanyai mereka, jika masih tetap dengan pendiriannya maka dilakukanlah eksekusi mati. Pada titik ini, penulis melihat Mu’tazilah bukan hanya menghukum mereka yang mengatakan “al-Qur’an bukan makhluk”, tapi juga menyiksa mereka yang sekedar tidak sepakat dan berhenti pada pernyataan “al-Qur’an Kalamullah”, artinya Mu’tazilah mulai menghitamputihkan manusia ketika itu, siapa yang setuju selamat, yang tidak setuju -termasuk juga mereka yang diam- disiksa dan dieksekusi.
Demikianlah mihnah itu terjadi sampai masa al-Watsiq, namun eksekusi tidaklah secepat yang dibayangkan. Selama para ulama itu tidak mengungkapkan secara pasti jawabannya, apakah al-Qur’an makhluk atau tidak, yang terjadi adalah penyiksaan-penyiksaan sampai mereka memilih salah satu jawaban secara jelas. Ketika jawaban itu jelas “bukan makhluk” barulah eksekusi dilaksanakan. Oleh karena itulah banyak juga dikalangan ulama itu yang wafat karena beratnya siksaan.
Mihnah berakhir seiring naiknya al-Mutawakil sebagai Khalifah tahun 232 H, yang juga sebagai titik balik kemunduran pengaruh Mu’tazilah, khususnya di kalangan pejabat pemerintahan.
Dari sisi inilah penulis di awal mengatakan bahwa mihnah merupakan efek historis terbesar dari pengaruh paham Mu’tazilah, atau yang disebut juga dengan al-fitnah al-kubra, dan itu terjadi ketika mereka memaksakan pemahaman mereka secara ekstrim kepada orang lain. Dan memang ektrimitas dimanapun dan kapanpun tetap ada dan hampir bisa dipastikan akan membawa pada fitnah, oleh karena itulah Islam sangat menentang segala bentuk ekstrimisme, dan mengarahkan umatnya kepada jalan washathiyah (moderat, objektif, dan berakhlak).
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah: 143) 
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan akhir dari pembahasan ini:
1. Mu’tazilah adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
2. Mu’tazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash (wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya, mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir saja membawa mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim” ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada titik klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam, yang diistilahkan Mihnah.
3. Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
4. Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah:
4.1. Tauhid (Keesaan)
4.2. Al-’Adl (Keadilan)
4.3. Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
4.4. Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat)
4.5. Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)
5. Dengan memahami lima hal pokok tersebut, penulis nilai kita tidak bisa menghukum kafir kaum Mu’tazilah. Dan memang kita tidak bisa menggeneralisasi hukum terhadap Mu’tazilah, tapi harus dilihat di setiap permasalahan yang diangkatkannya, sehingga kita pun tidak terjebak ke dalam sikap “nyaris ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang penulis yakini akan membawa dampak negatif.
6. Dengan kekayaan pembahasan logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak masukan terhadap kekayaan khazanah keislaman. Artinya kita tidak bisa menutup mata rapat-rapat terhadap kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti menghilangkan nalar kritis terhadap ide-ide pemikirannya. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syatibi dalam metode Maqashid Syari’ah, atau Muhammad Abduh dalam ide-ide pembaharuannya, dan tokoh-tokoh lainnya.
Terakhir, penulis merasa pembahasan ini masih jauh dari objektif dan kesempurnaan, oleh karena itu masukan dari berbagai pihak sangatlah diharapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-Ashri ‘Arabi-Indunisi (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt.
Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
Jaya, Yahya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang: Angkasa Raya, 2000.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993.
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.
Selengkapnya disini...

Komentar