PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A.Asal-usul kelompok Sunni
Sunni[1],
sebutan pendek Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, adalah nama sebuah aliran
pemikiran yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah, yaitu sebuah
jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan sahabat-sahabatnya,
sebagaimana dilukiskan dalam hadith: "Ma ana 'alaih wa ashabi". Jama'ah
berarti mayoritas, sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih al-Mahbubi,
yaitu 'ammah al-muslimun (umumnya umat Islam) dan al-jama'ah al-kathir
wa al-sawad al-'azm (jumlah besar dan khalayak ramai)[2]. Paham
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebenarnya sudah terformat sejak masa awal
Islam yang ajarannya merupakan pengembangan dari dasar pemikiran yang
telah dirumuskan sejak periode sahabat dan tabi'in. Yaitu pemikiran
keagamaan yang menjadikan hadits sebagai rujukan utamanya setelah
al-Qur'an. Nama ahl al-hadits diberikan sebagai ganti ahl al-Sunnah
wa-Jama'ah yang pada saat itu masih dalam proses pembentukan dan
merupakan antitesis dari paham Khawarij dan Mu'tazilah yang tidak mau
menerima al-hadits (as-Sunnah) sebagai sumber pokok ajaran agama Islam.
Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama'ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah[3]
dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu'tazilah yang
pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100 H/ 718 M
dan mencapai puncaknya pada masa khalifah 'Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun
(813-833 M), al-Mu'tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh
ini semakin kuat ketika paham Mu'tazilah dijadikan sebagai madzab resmi
yang di anut negara pada masa al-Ma'mun.[4]
B.Pemikiran politik Sunni
Dalam
pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi
memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya
yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat. Kaum
Sunni pada dasarnya adalah kelompok yang ikut andil besar dalam
menggulingkan dakwah Umawiyah dan mendukung kepemimpinan Bani 'Abbasiyah
bersama golongan Khawarij, Syi'ah dan orang-orang non Arab. Sehingga
mereka harus bersaing dengan kelompok Syi'ah dalam memperoleh akses
kekuasaan ketika Bani 'Abbasiyah berkuasa. Kaum
Syi'ah memperoleh angin ketika di awal pemerintahan 'Abbasiyah dengan
diadopsinya paham ini sebagai paham negara dan dihembuskannya kembali
paham Imamah oleh penguasa untuk memperoleh dukungan yang luas terhadap
pemerintahan mereka. Hal ini berlangsung terus sampai pemerintahan
Khalifah al-Mahdi (775-785 M). Dan selama pemerintahan tersebut posisi
Sunni benar-benar terjepit. Pada
masa pemerintahan al-Ma'mun, hubungan Sunni dan Mu'tazilah adalah
hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama pada saat paham
Mu'tazilah dijadikan paham negara al-Ma'mun dan al-Mu'tasim. Pada saat
itulah dipaksakan keyakinan bahwa al-Qur'an adalah makhluk (mihnah/ujian
aqidah/inkuisisi) bagi setiap orang Islam dengan segala resiko bagi
yang tidak mengikutinya. Akibatnya banyak diantara ulama yang semula
bersikap menolak, terpaksa harus menerimanya. Ahmad ibn Hanbal dan
Muhammad Nuh adalah sebagian kecil dari kaum ulama yang bersikeras tetap
menolaknya. Perselisihan antara golongan ahl-al-Hadits (Sunni) dengan
Mu'tazilah yang semula dilatarbelakangi isu-isu teologis berubah menjadi
kepentingan politik untuk memasyarakatkan ideologinya. Tatkala
al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai
khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah
peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan
simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham
Mu'tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.
Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang
tokohnya, al-Shafi'i munyusun 'Ushul al-Fiqh yang di dalamnya mengandung
ajaran tentang Ijma' dan Qiyas. Dalam bidang Hadits lahir tokoh Bukhari
dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, lahir al-Tabbari dan Ibn Mujahid. Pada
masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi Utsman dan
Ali dengan mengatakan bahwa masyarakat terbaik setelah nabi adalah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
Berbeda
dengan Mu'tazilah, pertikaian antara Sunni (Ahl al-Hadits) dan Syi'ah
selalu diwarnai dimensi politik. Mereka berusaha bersaing untuk
menggunakan lembaga negara sebagai sarana untuk menyebarkan
ajaran-ajaran yang dirumuskan oleh para tokohnya. Diantara para tokohnya
adalah Khalifah al-Buyid (945-1055 M) yang mengeluarkan doktrin tentang
tidak adanya imam ke-12. Pada masa inilah muncul tokoh yang mengklaim
dirinya sebagai pelopor dari lahirnya Sunni, yaitu al-Qadir (keturunan
Khalifah al-Muqtadir), yang menerbitkan Risalat al-Qadiriyyah yang
berisikan tentang doktrin-doktrin ajaran Sunni dan menyatakan bahwa
negara melarang penyebaran doktrin "kemakhlukan al-Qur'an" karena
bertentangan dengan ideologi negara dan mayoritas warga yang perpaham
Sunni. Pengaruh Sunni terus berkembang terutama setelah tahun 1055
ketika Baghdad ditahlukkan oleh Dinasti Saljuk-Turki. Pada abad 11
inilah dimulainya abad kebangkitan kembali kaum Sunni[5]. Pada
saat itu juga telah dikembangkannya konsep kepemimpinan oleh para
tokoh-tokoh Sunni. Diantaranya adalah seorang khalifah harus dipilih
oleh rakyat (masyarakat). Tetapi beberapa tokoh lain memperbolehkan
penunjukkan khalifah oleh khalifah sebelumnya yang penting memenuhi
syarat-syarat tertentu, diantaranya, dia harus seorang yang adil,
berilmu, sehat lahir batin, dari keturunan suku Quraish dari bani Hasyim
atau Umayyah[6]. Pandangan
semacam tersebut bisa dilihat dari gagasan-gagasan yang telah
dimunculkan oleh 'Abdullah ibn al-Muqaffa', seorang sekretaris negara di
masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur (754-755 M) sebelumnya. Juga
pemikiran Imam Abu Yusuf, seorang qadi (hakim) di zaman al-Mahdi
(775-785 M) dan Harun al-Rasyid (786-809 M) yang tertulis dalam kitab
al-Kharaj yang berisi tentang teori keuangan negara. Secara umum,
pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap
khalifah yang sedang berkuasa, sebab ia dipandang sebagai khalifah yang
suci sebagaimana konsep Imamah dalam Syi'ah. Hal yang perlu dicatat di
sini adalah, meskipun bani 'Abbasiyah bercorak Sunni namun mereka
mengadopsi teori Imamah-nya kaum Syi'ah untuk mendukung pemerintahannya. Pemikir
lainnya dari Sunni 'Abbasiyah adalah Ahmad ibn Yusuf, dia menulis surat
yang terkenal yaitu Risala al-Khamis yang dipersembahkan kepada
khalifah al-Ma'mun yang berisikan propaganda 'Abbasiyah, yang berisikan
pernyataan yang berusaha meyakinkan khalifah bahwa memang yang berhak
mewarisi kepemimpinan rasul adalah keturunan 'Abbasiyah. Puncak
pemikiran Sunni 'Abbasiyah adalah dituliskannya Kitab al-Ahkam
al-Sultaniyyah oleh al-Mawardi pada masa Buwayhid yang merebut Baghdad
dari kekuasaan al-Qadir yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi,
kepangkatan dan keistimawaan, tugas dan fungsi imam, turun tahta dan
teori tentang pemberontakan. Dalam
kitab tersebut dijelaskan bahwa institusi imamah adalah kebutuhan yang
didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan rasio belaka.
Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat. Al-Mawardi
merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria,
diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraish, perlunya
pembentukan lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya,
hak suara harus diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang
berada dalam kota-kota besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara,
lewat lembaga pemilihan umum dan lewat penunjukan imam yang sedang
berkuasa. Al-Mawardi berpendapat bahwa seorang khalifah pada dasarnya
cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah bahwa
Abu Bakr dan Utsman hanya dipilih oleh 5 orang dan juga tradisi dari
'Abbas. 'Abbas pernah berkata kepada 'Ali: "Angkat
tanganmu, aku akan bersumpah setia padamu, dan ketika semua orang tahu
bahwa paman nabi telah bersumpah setia kepada keponakannya, maka tidak
akan ada seorangpun yang akan keberatan terhadap kepemimpinanmu". Pemikiran-pemikiran
dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membelah dan mempertahankan
kehidupan kekuasaan. Jarang pula pemikiran politik dan kewarganegaraan
mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintah.
C.Perkembangannya kemudian
Ahlus-Sunnah
pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk,
hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh
Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan
awal kekuasaan Bani Abbasiyah.
Madzhab / aliran Fiqh
Terdapat
empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam
keyakinan sunni empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti.
Perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental.
Perbedaan mazhab bukan pada hal aqidah (pokok keimanan) tapi lebih pada
tata cara ibadah. Para Imam mengatakan bahwa mereka hanya berijtihad
dalam hal yang memang tidak ada keterangan tegas dan jelas dalam al
Quran atau untuk menentukan kapan suatu hadis bisa diamalkan dan
bagaimana hubungannya dengan hadis-hadis lain dalam tema yang sama.
Mengikuti hasil ijtihad tanpa mengetahui dasarnya adalah terlarang dalam
hal akidah, tetapi dalam tata cara ibadah masih dibolehkan, karena
rujukan kita adalah Rasulullah saw. dan beliau memang tidak pernah
memerintahkan untuk beribadah dengan terlebih dahulu mencari
dalil-dalilnya secara langsung, karena jika hal itu wajib bagi setiap
muslim maka tidak cukup waktu sekaligus berarti agama itu tidak lagi
bersifat mudah.
Hanafi
Didirikan
oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di
dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan
(Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian
Utara, separuh Irak, Syiria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan
Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).
Maliki
Didirikan
oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 20% muslim di seluruh dunia.
Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini
memiliki keunikan dengan menyodorkan tata cara hidup penduduk madinah
sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad Hijrah, hidup dan meninggal di sana dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits
Syafi'i
Dinisbatkan
kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia.
Pengikutnya tersebar di Turki, Irak, Syiria, Iran, Mesir, Somalia,
Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Sri Lanka dan menjadi mazhab
resmi negara Malaysia dan Brunei.
Hambali
Dimulai
oleh para murid Imam ahmad Bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar
5% muslim di dunia dan dominan di daerah Semenanjung Arab. Mazhab ini
merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi[7].
PENUTUP
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik Sunni pertama kali
muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran Syi'ah dan
Khawarij pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib. Dalam
proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat dilepaskan
dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan
golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa
formal ideologi Sunni tersebut, misalnya telah terjadi polemik
intelektual antara al-Syafi'i dengan ulama-ulama Khawarij dan
Mu'tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah
yang sedang berkuasa. Diperlukan
waktu hampir 5 abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran
politik Ahl al-Sunnah ini, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada
masa awal Islam, sahabat, tabi'in sampai pada pengukuhannya dalam
Risalah al-Qadiriyyah.
DAFTAR PUSTAKA
Esposito, John L, The Oxford Encychlopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Team, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.
[1]
Term "Sunni", mulai digunakan oleh para tokohnya untuk menyebut
kelompoknya mulai pada abad ke sepuluh dan sebelumnya term ini tidak
dikenal.
[2]Al-Tauhid, ed. Kassan, 1883, hal. 434, sebagaimana dikutip Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986),hlm.64
[3]
Salah satu karakteristik paham ini adalah istiqomah/jalan
tengah/moderat. Sehingga paham ini dianggap jalan tengah antara berbagai
aliran ekstrim rasionalis
[4] Team, Ensiklopedi Islam I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), hlm.79
[5] John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 3 (New York: Oxford University Press, 1995),hlm. 240
[6] Ibid., vol 1,hlm. 240.
Komentar
Posting Komentar