ALIRAN SUNNI

PENDAHULUAN
Secara etimologi, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah/Sunni adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'in. Sebagian besar umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan sisanya menganut aliran Syi'ah. Jika ditilik lebih dalam, Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat rasul dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Berikut akan kami paparkan lebih lanjut tentang pemikiran Ahl al-Sunnah wa-Jama'ah/Sunni beserta perinciannya.
PEMBAHASAN
A.Asal-usul kelompok Sunni
Sunni[1], sebutan pendek Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, adalah nama sebuah aliran pemikiran yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah, yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, sebagaimana dilukiskan dalam hadith: "Ma ana 'alaih wa ashabi". Jama'ah berarti mayoritas, sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih al-Mahbubi, yaitu 'ammah al-muslimun (umumnya umat Islam) dan al-jama'ah al-kathir wa al-sawad al-'azm (jumlah besar dan khalayak ramai)[2]. Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebenarnya sudah terformat sejak masa awal Islam yang ajarannya merupakan pengembangan dari dasar pemikiran yang telah dirumuskan sejak periode sahabat dan tabi'in. Yaitu pemikiran keagamaan yang menjadikan hadits sebagai rujukan utamanya setelah al-Qur'an. Nama ahl al-hadits diberikan sebagai ganti ahl al-Sunnah wa-Jama'ah yang pada saat itu masih dalam proses pembentukan dan merupakan antitesis dari paham Khawarij dan Mu'tazilah yang tidak mau menerima al-hadits (as-Sunnah) sebagai sumber pokok ajaran agama Islam.
Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama'ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah[3] dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu'tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah 'Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu'tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma'mun.[4]
B.Pemikiran politik Sunni
Dalam pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat. Kaum Sunni pada dasarnya adalah kelompok yang ikut andil besar dalam menggulingkan dakwah Umawiyah dan mendukung kepemimpinan Bani 'Abbasiyah bersama golongan Khawarij, Syi'ah dan orang-orang non Arab. Sehingga mereka harus bersaing dengan kelompok Syi'ah dalam memperoleh akses kekuasaan ketika Bani 'Abbasiyah berkuasa. Kaum Syi'ah memperoleh angin ketika di awal pemerintahan 'Abbasiyah dengan diadopsinya paham ini sebagai paham negara dan dihembuskannya kembali paham Imamah oleh penguasa untuk memperoleh dukungan yang luas terhadap pemerintahan mereka. Hal ini berlangsung terus sampai pemerintahan Khalifah al-Mahdi (775-785 M). Dan selama pemerintahan tersebut posisi Sunni benar-benar terjepit. Pada masa pemerintahan al-Ma'mun, hubungan Sunni dan Mu'tazilah adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama pada saat paham Mu'tazilah dijadikan paham negara al-Ma'mun dan al-Mu'tasim. Pada saat itulah dipaksakan keyakinan bahwa al-Qur'an adalah makhluk (mihnah/ujian aqidah/inkuisisi) bagi setiap orang Islam dengan segala resiko bagi yang tidak mengikutinya. Akibatnya banyak diantara ulama yang semula bersikap menolak, terpaksa harus menerimanya. Ahmad ibn Hanbal dan Muhammad Nuh adalah sebagian kecil dari kaum ulama yang bersikeras tetap menolaknya. Perselisihan antara golongan ahl-al-Hadits (Sunni) dengan Mu'tazilah yang semula dilatarbelakangi isu-isu teologis berubah menjadi kepentingan politik untuk memasyarakatkan ideologinya. Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, al-Shafi'i munyusun 'Ushul al-Fiqh yang di dalamnya mengandung ajaran tentang Ijma' dan Qiyas. Dalam bidang Hadits lahir tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, lahir al-Tabbari dan Ibn Mujahid. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi Utsman dan Ali dengan mengatakan bahwa masyarakat terbaik setelah nabi adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
Berbeda dengan Mu'tazilah, pertikaian antara Sunni (Ahl al-Hadits) dan Syi'ah selalu diwarnai dimensi politik. Mereka berusaha bersaing untuk menggunakan lembaga negara sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang dirumuskan oleh para tokohnya. Diantara para tokohnya adalah Khalifah al-Buyid (945-1055 M) yang mengeluarkan doktrin tentang tidak adanya imam ke-12. Pada masa inilah muncul tokoh yang mengklaim dirinya sebagai pelopor dari lahirnya Sunni, yaitu al-Qadir (keturunan Khalifah al-Muqtadir), yang menerbitkan Risalat al-Qadiriyyah yang berisikan tentang doktrin-doktrin ajaran Sunni dan menyatakan bahwa negara melarang penyebaran doktrin "kemakhlukan al-Qur'an" karena bertentangan dengan ideologi negara dan mayoritas warga yang perpaham Sunni. Pengaruh Sunni terus berkembang terutama setelah tahun 1055 ketika Baghdad ditahlukkan oleh Dinasti Saljuk-Turki. Pada abad 11 inilah dimulainya abad kebangkitan kembali kaum Sunni[5]. Pada saat itu juga telah dikembangkannya konsep kepemimpinan oleh para tokoh-tokoh Sunni. Diantaranya adalah seorang khalifah harus dipilih oleh rakyat (masyarakat). Tetapi beberapa tokoh lain memperbolehkan penunjukkan khalifah oleh khalifah sebelumnya yang penting memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya, dia harus seorang yang adil, berilmu, sehat lahir batin, dari keturunan suku Quraish dari bani Hasyim atau Umayyah[6]. Pandangan semacam tersebut bisa dilihat dari gagasan-gagasan yang telah dimunculkan oleh 'Abdullah ibn al-Muqaffa', seorang sekretaris negara di masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur (754-755 M) sebelumnya. Juga pemikiran Imam Abu Yusuf, seorang qadi (hakim) di zaman al-Mahdi (775-785 M) dan Harun al-Rasyid (786-809 M) yang tertulis dalam kitab al-Kharaj yang berisi tentang teori keuangan negara. Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, sebab ia dipandang sebagai khalifah yang suci sebagaimana konsep Imamah dalam Syi'ah. Hal yang perlu dicatat di sini adalah, meskipun bani 'Abbasiyah bercorak Sunni namun mereka mengadopsi teori Imamah-nya kaum Syi'ah untuk mendukung pemerintahannya. Pemikir lainnya dari Sunni 'Abbasiyah adalah Ahmad ibn Yusuf, dia menulis surat yang terkenal yaitu Risala al-Khamis yang dipersembahkan kepada khalifah al-Ma'mun yang berisikan propaganda 'Abbasiyah, yang berisikan pernyataan yang berusaha meyakinkan khalifah bahwa memang yang berhak mewarisi kepemimpinan rasul adalah keturunan 'Abbasiyah. Puncak pemikiran Sunni 'Abbasiyah adalah dituliskannya Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah oleh al-Mawardi pada masa Buwayhid yang merebut Baghdad dari kekuasaan al-Qadir yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi, kepangkatan dan keistimawaan, tugas dan fungsi imam, turun tahta dan teori tentang pemberontakan. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa institusi imamah adalah kebutuhan yang didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan rasio belaka. Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat. Al-Mawardi merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria, diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraish, perlunya pembentukan lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya, hak suara harus diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang berada dalam kota-kota besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara, lewat lembaga pemilihan umum dan lewat penunjukan imam yang sedang berkuasa. Al-Mawardi berpendapat bahwa seorang khalifah pada dasarnya cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah bahwa Abu Bakr dan Utsman hanya dipilih oleh 5 orang dan juga tradisi dari 'Abbas. 'Abbas pernah berkata kepada 'Ali: "Angkat tanganmu, aku akan bersumpah setia padamu, dan ketika semua orang tahu bahwa paman nabi telah bersumpah setia kepada keponakannya, maka tidak akan ada seorangpun yang akan keberatan terhadap kepemimpinanmu". Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membelah dan mempertahankan kehidupan kekuasaan. Jarang pula pemikiran politik dan kewarganegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintah.
C.Perkembangannya kemudian
Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah.
Madzhab / aliran Fiqh
Terdapat empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan sunni empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti. Perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Perbedaan mazhab bukan pada hal aqidah (pokok keimanan) tapi lebih pada tata cara ibadah. Para Imam mengatakan bahwa mereka hanya berijtihad dalam hal yang memang tidak ada keterangan tegas dan jelas dalam al Quran atau untuk menentukan kapan suatu hadis bisa diamalkan dan bagaimana hubungannya dengan hadis-hadis lain dalam tema yang sama. Mengikuti hasil ijtihad tanpa mengetahui dasarnya adalah terlarang dalam hal akidah, tetapi dalam tata cara ibadah masih dibolehkan, karena rujukan kita adalah Rasulullah saw. dan beliau memang tidak pernah memerintahkan untuk beribadah dengan terlebih dahulu mencari dalil-dalilnya secara langsung, karena jika hal itu wajib bagi setiap muslim maka tidak cukup waktu sekaligus berarti agama itu tidak lagi bersifat mudah.
Hanafi
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syiria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).
Maliki
Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 20% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tata cara hidup penduduk madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad Hijrah, hidup dan meninggal di sana dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits
Syafi'i
Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar di Turki, Irak, Syiria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
Hambali
Dimulai oleh para murid Imam ahmad Bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah Semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi[7].
PENUTUP
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik Sunni pertama kali muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran Syi'ah dan Khawarij pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib. Dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya telah terjadi polemik intelektual antara al-Syafi'i dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu'tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa. Diperlukan waktu hampir 5 abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Ahl al-Sunnah ini, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi'in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah al-Qadiriyyah.

DAFTAR PUSTAKA
Esposito, John L, The Oxford Encychlopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Team, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.



[1] Term "Sunni", mulai digunakan oleh para tokohnya untuk menyebut kelompoknya mulai pada abad ke sepuluh dan sebelumnya term ini tidak dikenal.
[2]Al-Tauhid, ed. Kassan, 1883, hal. 434, sebagaimana dikutip Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986),hlm.64
[3] Salah satu karakteristik paham ini adalah istiqomah/jalan tengah/moderat. Sehingga paham ini dianggap jalan tengah antara berbagai aliran ekstrim rasionalis
[4] Team, Ensiklopedi Islam I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), hlm.79
[5] John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 3 (New York: Oxford University Press, 1995),hlm. 240
[6] Ibid., vol 1,hlm. 240.
[7] www.wikipwdia.com, diakses tanggal 29-10-2010
Silahkan dilihat lebih lengkap disini

Komentar