PENDAHULUAN
Ada
satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli
zaman wa makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai
doktrin kebenaran yang bersifat pasti. Akibatnya muncul respon reaktif
terhadap setiap perkembangan situasi yang terjadi dalam perjalanan
sejarah peradaban manusia. Misalnya dengan pernyataan bahwa semua ilmu
pengetahuan yang ada sekarang ini dan pada masa yang akan datang sudah
ada semuanya dalam al-Qur’an. Seperti yang disampaikan oleh al-Ghazali
dalam Jawahir al-Qur’an.
Respon
ini tentunya tidak produktif. Sebab jika ada penemuan baru berdasarkan
metodologi ilmu pengetahuan kontemporer yang kontradiktif dengan
al-Qur’an muncul respon defensif yang seringkali menempatkan
informasi-informasi dalam teks al-Qur’an pada dataran mistik. Ada
semacam pemaksaan teologis dalam rangka menyelamatkan keshahihan
al-Qur’an tersebut. Padahal upaya ini justru akan memposisikan al-Qur’an
secara sempit. Pemahaman al-Qur’an hanya terbatas pada ruang dan waktu
ketika al-Qur’an itu turun, atau paling tidak sampai pada waktu
ulama-ulama klasik saja.
Karenanya
diperlukan upaya yang lebih produktif dalam rangka mempertahankan
pandangan teologis di atas. Salah satunya adalah pengembangkan tafsir
kontemporer dengan menggunakan metodologi baru yang sesuai dengan
perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan perkembangan
peradaban manusia. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah
metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara
baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta mampu menjawab perubahan
dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat manusia.
Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang
berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran.
Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam
menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan
secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai
persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai
referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah
penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun
kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat
justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an.
Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar
tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat
dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk
pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dengan demikian, ada beberapa persoalan yang diajukan dalam makalah ini, yaitu:
Ø Apakah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah penafsiran?
Ø Bagaimanakah penerapan kaidah penafsiran tersebut dalam penafsiran al-Qur’an?
Ø Bagaimanakah pengembangan kaidah penafsiran tersebut pada era kontemporer sekarang ini?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah
tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang,
peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang,
sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang
partikular. Adapun kata tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara,
yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan. Secara istilah tafsir
dapat diartikan sebagai alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami
petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai
pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas
petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah
dilakukan oleh para ulama sejak awal munculnya ulum al-Qur’an. Di
antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi
dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Pembahasan
tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam dalam
kitab-kitab ulum al-Qur’an yang lain , seperti oleh Manna al-Qattan
dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an dan lain-lain..
Namun
dari berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum al-Qur’an
tersebut tidak terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang
lainnya. Ada yang mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui
pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid,
seperti yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi. Ada pula
yang membahasnya secara teknis dan detail, seperti yang dilakukan oleh
Manna al-Qattan.
Karenanya
sikap para ulama dan pemikir Islam terhadap kaidah-kaidah ini juga
beragam. Ada yang memandang kaidah tafsir yang disusun oleh para ulama
sebagai sesuatu yang mengikat dan harus diikuti oleh para mufasir yang
lain. Ada pula yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak
mengikat dan melihatnya hanya sebagai suatu prosedur kerja seorang
mufasir saja.
Oleh
karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang,
sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa,
tampaknya kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai
suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak
mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama.
Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki
kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Meskipun
demikian keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun para ulama
tetap penting. Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka
metodologi dalam melakukan penafsiran dengan menggunakan metode yang
sama. Kaidah tersebut juga bisa digunakan sebagai referensi dan
pembanding dalam melakukan proses penafsiran.
B. Macam-Macam Kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah
tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur’an sangat
beragam. Berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kadiah-kaidah
tafsir dapat dikelompokkan menjadi kaidah dasar, umum dan khusus.
Kaidah Dasar Tafsir
Kaidah
dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan
al-Qur’an yang meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan
perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama
harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti secara cermat dalam
rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok persoalan.
Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang
mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada
suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat
lain .
Kemudian
mufasir juga harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan
hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia
tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri,
dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat
penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, ia harus
menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja
mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan
kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
Kaidah Umum Tafsir
Kaidah
khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan
yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq,
balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu
bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan
konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir
akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan
i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat
bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu tersebut.
Dhamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
Ø Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
Ø Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
Ø Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
Ø Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
Ø Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
Ø pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
Ø Ta’rif
dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa
sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya
dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan
memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata
tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk
yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan
sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
Ø Ta’rif
dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk
menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi
atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69),
untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
Ø Ta’rif
dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah
diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang
sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah
diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua
satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S.
2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
Pengulangan kata benda (ism)
Apabila
sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat
kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama
nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang
kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
Ø Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
Ø Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
Ø - Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
Ø Jika
yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang
dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah
menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
Mufrad dan Jamak
Dalam
al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada
dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
Ø Kata
al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk
mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai
lebih luas dari pada adzab-Nya
Ø Kata
al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata
al-dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini
menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan
sangat beragam. Kaidah yang sama juga berlaku untuk kalimat waliy
al-mu’minin dan auliya al-kafirin.
Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam
al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang
mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut
seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk
dalam kaidah ini antara lain:
Ø al-khauf
dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk
menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti
meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan
kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang
merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
Ø al-syuhh
dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih
dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl
hanya kikir saja.
Pertanyaan dan Jawaban
Pada
dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi
penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan
bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)
Penerapan kaidah ushul fiqh dalam penafsiran al-Qur’an
Di antara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:
Ø Patokan
memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum, bukan
sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.(Q.S. 24:6)
Ø Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib (Q.S. 62:9)
Ø Perintah
atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas
sesuatu berarti perintah atas kebalikannya (Q.S. 73:10)
Selain
kaidah-kaidah di atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya kaidah
tentang al-jumlat al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana,
kada, ja’ala, la’alla dan ‘asa. Penerapan kaidah-kaidah tersebut dibahas
secara panjang lebar oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum
al-Qur’an.
Kaidah Khusus Tafsir
Kaidah
khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif
dan wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran Islam. Dalam
hal ini warna tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif
keilmuannya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing perspektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalnya adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan Muktazilah dalam perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam perspektif fiqh. Juga antara tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspertif keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-masing.
Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corak tafsir umat Islam. Adanya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir modern. Arus perubahan dan perkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan bersifat global. Akibatnya pandangan umat Islam terhadap realitas pun berubah. Dus pemahaman terhadap informasi yang bersumber dari al-Qur’an pun mengalami perubahan.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing perspektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalnya adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan Muktazilah dalam perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam perspektif fiqh. Juga antara tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspertif keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-masing.
Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corak tafsir umat Islam. Adanya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir modern. Arus perubahan dan perkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan bersifat global. Akibatnya pandangan umat Islam terhadap realitas pun berubah. Dus pemahaman terhadap informasi yang bersumber dari al-Qur’an pun mengalami perubahan.
Misalnya
ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi ketika masih
dalam perut ibunya, maka pemahaman terhadap teks “Allah mengetahui apa
yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)” (Q.S. 13:8) tidak lagi
ditafsirkan mengetahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Melainkan
mengetahui dalam perspektif yang lain, seperti masa depan, jiwa, bakat
dan perincian yang lain.
Rasionalitas
modern seperti inilah yang menjadi ciri khusus tafsir modern. Para
mufasir modern melakukan penafsiran dengan menggunakan kacamata yang
bisa dikonsumsi masyarakat saintifik. Salah satu cirinya adalah adanya
upaya demitologisasi terhadap berbagai pemikiran yang tidak rasional
yang dilakukan para mufasir sebelumnya.
Beberapa kaidah khusus terkait dengan tafsir modern ini diantaranya adalah:
Memetakan masalah-masalah dalam al-qur’an menjadi wilayah bukan nalar dan wilayah nalar.
Wilayah
bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah.
Sedangkan yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah
kemasyarakatan. Wilayah pertama, apabila nilai riwayatnya shahih,
diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang
berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua menempatkan
penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal
ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk
melakukan tafsir ulang terhadap teks al-Qur’an
Melakukan pemetaan ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni
Pemikiran
modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan
qath’i al-Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan
yang banyak memberikan realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat
ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat dibanding tahun-tahun
berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya pandangan
yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatih al-ghayb yang
tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian
wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar
dan wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berimplikasi
pada konsep syariat yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu
syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan
fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang
dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.
Penggunaan takwil dan metafora dalam penafsiran
Perkembangan
ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan
usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan
tersebut. Misalnya adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan
hujan adalah Allah. Ulama klasik enggan untuk mengatakan bahwa langit
yang menurunkan hujan. Di era modern, dengan adanya bukti empirik
tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut harus diposisikan
sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang penggunaan takwil dalam
penafsiran menjadi lebih terbuka.
C. Kaidah Penafsiran Kontemporer
Tafsir
kontemporer dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan
oleh para pemikir muslim neo-modernisme atau post-modernisme.
Modernisme Islam yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 memang mampu
melahirkan pembaruan pemikiran menuju masyarakat muslim modern. Akan
tetapi di sisi lain modernisme masih memiliki celah konservatisme dalam
konsep pemurnian Islam. Pendekatan konservatif terhadap konsep ini
kembali menarik Islam ke arah pemikiran tradidional yang dikenal dengan
istilah puritanisme.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Berikut ini adalah kaidah khusus tafsir yang dikembangkan oleh keduanya:
Muhammad Shahrur
Muhammad
Shahrur mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan
intratektualitas dan paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam
metode ini adalah sebenarnya adalah kaidah dasar tafsir yang juga
digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang lain, yaitu sebagian ayat
al-Qur’an menafsirkan ayat yang lain. Namun yang menjadikannya berbeda
adalah analisis yang digunakan. Analisis pemahaman terhadap sebuah
konsep dari suatu teks dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan konsep
dari teks-teks lain yang mendekati atau yang berlawanan (paradigmatik).
Kaidah
lain yang dikembangkan oleh Shahrur adalah bahwa di dalam bahasa Arab
tidak terdapat sinonim, setiap kata mempunyai kekhususan makna. Bahkan
satu kata bisa jadi memiliki lebih dari satu potensi makna. Salah satu
faktor yang bisa menentukan makna mana yang lebih tepat dari
potensi-potensi makna yang ada ialah konteks logis dalam suatu teks di
mana kata itu disebutkan. Inilah yang disebut dengan analisis
sintagmatis, yang memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi
oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
Fazlur Rahman
Metode
tafsir yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dikenal dengan metode
gerakan ganda (double movements). Metode ini sangat terkait dengan
kaidah khusus yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dalam memaknai
al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah moral yang menekankan pada
monoteisme dan keadilan sosial. Barawal dari kaidah ini dikembangkanlah
metode gerakan ganda.
Metode
ini dikembangkan dengan menarik situasi kontemporer menuju era
al-Qur’an diturunkan, lalu ditarik kembali ke masa sekarang. Elaborasi
definitif dari metode ini adalah sebagai berikut:
Pertama,
memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi
atau problem historis pada saat itu. Dari kajian tersebut ditarik suatu
kesimpulan ke arah nilai-nilai moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan
jangka panjang. Kedua, nilai-nilai
tersebut kemudian ditarik dalam konteks sosio-historis pada saat
sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan menilai berbagai persoalan
kontemporer yang sedang berlangsung.
Di
samping dua pemikir di atas masih ada sederetan pemikir Islam
kontemporer yang mengembangkan kaidah penafsiran secara unik sesuai
dengan perkembangan sosio-historisnya masing-masing. Seperti Nasr Abu
Zaid, Farid Esack, Mohammad Arkoun, Bint Syati’ dan lain-lain.
KESIMPULAN
Kaidah
tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum
guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh
karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang,
sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa,
kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu
prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat
kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap
mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki
kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan
Penerapan
kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir.
Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah
dasar, kaidah umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan
sesuai dengan metode penafsirannya masing-masing
Pada
era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan
perkembangan intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan
perkembangan intelektualitas global. Para pemikir muslim mengembangkan
kaidah dan metode penafsiran sesuai dengan situasi sosio-historis yang
dihadapinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsi. Bandung: Pustaka Setia, 2005
Aziz, Amir Abd. Dirasat Fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983
Chirzin, Muhammad, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 2003. Cetakan II
Dahlan, Abd. Rahman dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.
Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1356 H. Jilid II
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia,
2004
Al-Makin, Apakah Tafsir Masih Mungkin? dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Al-Qattan, Manna. Mabahits fiUlum al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993
Saleh,
Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan
Fazlur Rahman. Jambi: Sulthan Thaha Press bekerjasama dengan Gaung
Persada Press Jakarta, 2007
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan: Bandung, 1999
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk.. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005
Syafe’i, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006
Syamsuddin, Syahiron. Metode Intratektualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran Al-
Qur’an dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002Hasil copy paste dari sini
(Kaidah Umum Tafsir
BalasHapusKaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an.)
maaf,,, ini kaidah umum kok penjelasanx tentang kaidah khusus...???