NASIKH MANSUKH



PENDAHULUAN
Islam agama yang indah. Allah telah menunjuk Muhammad bin Abdullah sebagai utusanNya. Rasullullah telah diperintahkan oleh Allah untuk menyempurnakan akhlaq para manusia dikala itu. Budaya yang jahiliyah membuat peradaban kala itu merupakan peradaban yang rusak secara moral.
Diperintahkannya Rosullullah untuk membenarkan akidaq dan akhlaq umat ketika itu, telah dilengkapi dengan mukjizat terbesar yaitu Al-Qur’an. Kalam Allah yang suci itu disampaikan kepada Malaikat Jibril baru kemudian diteruskan kepada Nabi Muhammad SAW.
Setelah ayat demi ayat turun, maka semakin banyak kaum kafir masuk Islam. Mereka berani memeluk Islam dan meninggalkan budaya mereka yang Jahiliyah. Dengan melihat pribadi Rasullullah yang jujur dan baik, serta senantiasa mendengarkan ayat Al-Quran yang telah disampaikan oleh Rasullullah SAW.
  Turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur juga menandakan keindahan agama Islam ini. Tidak ada satu ayat pun yang saling bertentangan secara makna dan pengertian. Maka jika ada penafsiran yang bertentangan maka kemungkinan ada perubahan undang-undang lama diganti dengan yang baru. Bukan berarti sikap Islam yang elastis bisa dirubah semaunya. Akan tetapi Islam sangat memahami umatnya dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu hukum syara’ dengan hukum syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.



PEMBAHASAN
NASIKH DAN MANSUKH
1.      PENGERTIAN NASIKH MANSUKH AL-QURAN
Nasikh secara etimologi yaitu menghapus / mengganti / memindahkan / mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku[1]. Seperti dalam surat al-Baqarah berikut :
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” ( Q.S al-Baqarah : 106)[2]
Mansukh secara etimologi yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Pengertian naskh secara terminlogi digolongkan ke dalam dua golongan yaitu :
1. Menurut ulama Mutakadimin (abad ke 1 hingga abad ke 3 H) arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi mencakup :
a. pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian
b. pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
c. penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas(samar), dan penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat[3]. Di samping itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya kondisi lain. Misalnya, perintah agar kaum muslimin pada periode Mekkah bersabar karena kondisi mereka lemah telah di naskh oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum Islam termasuk dalam pengertian naskh.[4]
2. Menurut ulama Muta`akhirin ( setelah abad 3 H) mempersempit pengertian yang luas itu. Menurut mereka, naskh adalah ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan masa berlakunya hukum terdahulu. Artinya , ketetapan hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum yang baru.[5]
Sehingga bisa dirumuskan bahwa suatu ayat bisa dikatakan menaskh ayat-ayat mansukh harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
a.    Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
b.   Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
c.    Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertetangan yang nyata (kontradiktif).
d.   Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir[6]
Selain persyaratan diatas ada beberapa hal yang berkaitan mengenai apa saja yang terdapat dalam naskh :
  1. Naskh terdapat perintah dan larangan
  2. Naskh tidak terdapat dalam akhlaq dan adab yang didorong islam adanya.
Contoh surat Luqman ayat yang artinya:
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman : 18)[7]
  1. Tidak terjadi pada akidah, seperti : Dzat Nya, Sifat Nya, Kitab-kitab Nya dan hari akhir. Tidak pula mengenai khabar sharih (yang jelas dan yang nyata). Umpamanya mengenai janji Allah bahwa orang baik masuk surga dan orang yang mati kafir atau musyrik masuk neraka.
  2. Tidak terjadi mengenai ibadat dasar dan mu’amalat, karena semua agama tidak lepas dari dasar ini.
Berdasarkan firman Allah  yang artinya:
 “Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa ……” (QS. Assyura: 13)[8]
2.      MACAM-MACAM NASIKH MANSUKH
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam alquran dibagi menjadi empat macam, yaitu :
1.      Nasikh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Umpamanya ayat tentang perang (qital) pada surat al anfal ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir :
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ ÇÏÎÈ  

Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Anfal : 65)[9]
Menurut jumhur Ulama’ ayat ini di naskh oleh ayat 66 Surat Al Anfal :
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur žcr& öNä3ŠÏù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øótƒ Èû÷üxÿø9r& ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ  
“Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Anfal : 66).[10]
Ayat diatas mengandung maksud bahwa pengharusan bagi satu orang mukmin melawan dua orang kafir, dimana sebelumnya pada ayat yang dimansukh dijelaskan bahwa pengharusan satu orang muslim melawan sepuluh kafir.
2.      Nasikh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contoh :
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180).
Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadis la washiyyah li warits (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3.      Nasikh Kully, orang yang mensyariatkan itu membatalkan hukum syar’I sebelumnya. Membatalkan secara keseluruhannya dengan merangkaikan kepada setiap pribadi mukallaf.
Sebagai contoh ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari yang terdapat dalam surat Al Baqoroh ayat 234 yang berbunyi sebagai berikut :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Albaqoroh : 234).
Ayat diatas menaskh ayat quran yang menyatakan bahwa masa ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah satu tahun.
4.      Naskh Juz’i, yaitu mensyariatkan hukum secara umum, meliputi seluruh pribadi mukallaf, kemudian hukum ini dibatalkan dengan menisbahkan kepada sebagian ifrad. Atau mensyariatkan hukum itu secara mutlak, kemudian dibatalkan dengan menisbahkan kepada beberapa hal. Maka nasikh itu tidak membatalkan perbuatan itu dengan hukum pertama yang dijadikan dasar. Tapi membatalkannya itu dengan menisbahkannya kepada ifrad atau kepada beberapa hal.
Contoh yang demikian itu ialah firman tuhan yang berbunyi :
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ  
”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An Nuur : 4).
Ayat tersebut menjelaskan hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa adanya saksi yang kemudian dinaskh oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh pada ayat berikut ini :
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ  

”Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An Nuur : 6)
3.      HUBUNGAN NASIKH MANSUKH DENGAN PENETAPAN HUKUM
1.      Adapun hikmah yang terdapat pada nasakh adalah sebagai berikut:
Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
2.      Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin“, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
3.      Memelihara kemaslahatan hamba
4.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam
5.      Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
6.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.




PENUTUP
KESIMPULAN
Nasakh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapuskan atau memindahkan. Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan. Para ulama sepakat adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan sunnah. Syari’at selalu memelihara kemaslahatan ummat, oleh karena itu nasikh itu mesti ada dan terjadi pada sebagian hukum – hukum.  Maka hal itu terjadi pada berita – berita, akan tetapi juga terjadi pada hukum – hukum yang berhubungan dengan halal dan haram. Hukum – hukum itu bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. Menyimpang dari jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang – orang yang sesat akan menjadi penyebab kesengsaraan.



DAFTAR PUSTAKA
Thahhan, Dr. Mahmud. 1997. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Abdul HA, Djalal, H. Prof., Dr. 2000. Ulumul Qur’an (Edisi Lengkap). Surabaya : Dunia          Ilmu.
AL-Khattan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur’an Dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.
Depag. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta
Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Rajawali.
Syaikh Muhammad Bin Sholel al Utsaimin. 2004. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta : Darus Sunnah Press.
Tim Penyusun MKD. 2011. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel





[1] Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011), hlm. 123
[2] DEPAG, al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta:2002.hal:78
[3] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'at, (Beirut : Dar Al-Ma'arif, 1975) jilid III, h. 108. dan lihat Quraish Sihab , Membumi, Nasikh, http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Nasikh.html
[4] Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, (Mesir , Al-Halabiy, 1980) , Jilid II, h. 254. dan lihat PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), lok.cit
[5] PT Ichtiar Baru van Hoeve, (ed), Lok. Cit. Hal:256
[6]  AL-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hal: 327
[7] Depag. Al-Quran dan Terjemah.hal:
[8] Depag.al-Quran dan Terjemahannya.hal:281
[9] Ibid,hal:
[10] Depag.OP.Cit.hal:

Komentar