AL GHOZALI DALAM PERADABAN ISLAM

A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thusi al-Ghazali, lahir pada tahun 45 H/1058 M di Thus, tepatnya di desa Gozaleh, Kotapraja Tabran.[1] Ia adalah seorang filosof, ahli ilmu kalam dan tasawuf serta ahli fiqih selain juga seorang pemikir besar dalam sejarah Islam yang pengaruhnya sangat besar hingga hari ini.
Awal pertama beliau belajar agama pada waktu kecil, beliau menimba ilmu pada Abu Hamid Ahmad Ibn Muhammad Ath Thusi Ar Radzkani seorang ulama terkenal sesuai ‎wasiat ayahnya sebelum meninggal dunia. Kemudian beliau pergi ke Nizabur untuk belajar di Madrasah Nizhamiyah pimpinan al Juwaini al Haramain yang bermadzab Syafi’i, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di dunia Islam. [2]
Karena kecakapannya dalam penguasaan ilmu, Al Ghazali oleh gurunya dikenalkan dengan Nizam Al Mulk, pendiri Madrasah Nizhamiyah. [3] Nizam Al-Mulk mengangkat al-Ghazali menjadi guru besar sekaligus Rektor Nizamiyah Bagdad dalam usia 34 tahun. Selama menjadi rektor, al-Ghazali banyak menulis buku yang meliputi beberapa bidang seperti fiqih, ilmu kalam dan buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah.[4] Penulisan berbagai karya ilmiah tersebut tidak mengurangi kesibukannya dalam mengajar dan meneliti.
Ia juga melakukan pembaharuan dalam Islam dan mengabdi pada masyarakat, termasuk mengeluarkan fatwa-fatwa secara umum dan memberikan sumbangan pemikiran politik pada pemerintah. Disini, ia meraih sukses gemilang, baik sebagai guru besar maupun sebagai konsultan hukum, dan harapan duniawinya tercapai sudah. Ia banyak dikunjungi orang untuk ditimba ilmunya dan mereka mengagumi kuliah dan dialog-dialognya yang tiada tandingannya, sehingga ia bukan saja menjadi Imam Irak sesudah Imam Khurasan, tetapi juga Hujjat al-Islam (Argumen Islam) yang reputasi dan karismanya mengalahkan para gubernur, para menteri dan istana Khilafat sendiri.[5]
Disela-sela kesibukannya, ia juga mempelajari filsafat, sampai ia berhasil mendudukkan persoalan secara proporsional, yaitu mendeskripsikan realitas problem-problem filsafat dan pemecahannya dalam karya yang berjudul Maqashid al-Falasifah. Langkah selanjutnya adalah melakukan telaah dan bantahan terhadap konsep mereka yang dituangkan dalam kitab Tahafudh al-Falasifah. Ini semakin memperkokoh gelarnya sebagai Hujjat al-Islam. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada Ta'limiyah, hal itu dikarenakan motif internal yakni, untuk menemukan ilmu yaqini, dan motif eksternal yakni, tugas dari khalifah untuk menyusun buku.[6]
Namun ia kecewa terhadap kenyataan, karena tidak berhasil menemukan ilmu yaqini. Maka kemudian ia jatuh sakit. Sakitnya tersebut dikarenakan faktor psikologis yang mendalam, sampai-sampai dokter tidak dapat mengobatinya. Maka kemudian ia meninggalkan Bagdad dengan berpura-pura menunaikan ibadah haji, dan menyerahkan pengajaran di Bagdad pada adiknya Ahmad.[7]
Al-Ghazali keluar dari Bagdad langsung menuju Damaskus, Syiria.[8] Dilanjutkan mengembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.[9] Selama tinggal di Syiria inilah, ia menulis karyanya yang terbesar Ihya' Ulum al-Din.[10]
Al-Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang filosof tasawuf pertama kali dan seorang pembela agama Islam yang besar serta salah seorang pemimpin yang menonjol di zamannya.[11] Akhirnya beliau berhasil menemukan hakikat yang dicarinya, yaitu tahap ilmu yaqini.
Setelah memperoleh ilmu al-yaqini, kemudian ia kembali ke Bagdad dan kembali mengajar di sana. Kitab pertama yang ia karang setelah ia kembali ke Bagdad adalah Munqiz min Al-Dalal (Penyelamat dari Kesesatan).[12]
Selain mengajar dan menjalani kehidupan sufi, al-Ghazali juga terus mendalami al-Qur'an dan Hadits, termasuk menekuni shahih Bukhari, shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud, meskipun di masa lampau, ia sudah banyak mempelajari al Qur'an/tafsir dan Hadits.
Ia wafat pada hari senin 14 Jumadi Akhir 505/ 18 Desember 1111, dimakamkan di Tabaran, Tus.[13] Demikianlah yang dapat kita amati dan renungkan, bahwa al-Ghazali dilahirkan di Tus dan wafat juga di Tus, setelah ia melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu al-yaqini.

2.2 Pemikiran Al Ghazali secara umum
Sebagaimana disebutkan oleh Abidin Ibn Rusn, berkaitan dengan profesi sebagai pemikir, al-Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan kronologis minimal 4 disiplin ilmu. Keempat disiplin ilmu tersebut ialah: ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu kebatinan dan ilmu tasawuf.[14]
Menurut penulis sendiri, awal mulanya sebelum mempelajari ilmu kalam, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari ilmu agama yang lebih mengarah pada persoalan fiqih atau kajian ilmu fiqih. Jadi al-Ghazali mengkaji 5 disiplin ilmu.
1.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu fiqih
Ketika al-Ghazali masih berguru kepada al-Juwaini, tokoh yang mengajarkannya fiqih dan kalam, dia sudah menulis karya cemerlang Al-Mankhul fi ilm al-Ushul, yang membahas metodologi dan teori hukum. Pada saat itu, ia diangkat sebagai asisten al-Juwaini dan terus mengajar di Nesapur hingga sang guru meninggal.[15]
Atas dasar inilah, maka menurut penulis al-Ghazali merupakan seorang faqih (ahli fiqih). Ia merupakan penganut fiqih Syafi'iyah, yang pada hakekatnya merupakan sintesis dari fiqih ahli hadits dan fiqih ahli ra'yi. Al-Ghazali tidak mendirikan madzhab sendiri, akan tetapi ia mengembangkan aliran fiqih yang dianutnya dengan didasarkan hadits dan pemikiran yang berkembang.
2.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu kalam (teolog)
Karena gurunya al-Juwaini juga merupakan teolog maka ia juga belajar ilmu kalam dari gurunya itu. Setelah ia matang dengan ilmu kalam, maka langkah selanjutnya adalah ia mendalami pemikiran kaum Mutakallimin dari berbagai macam aliran. Namun teologi yang dianut oleh al-Ghazali adalah Asy'ariyah.[16] Meskipun demikian al-Ghazali tidak menelan mentah-mentah aliran ini. Diantara ajaran aliran ini yang berbeda dengan pandangan al-Ghazali, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abidin Ibn Rusn adalah taklid buta yang melekat pada dada pengikutnya.[17] Dalam pandangan al-Ghazali seseorang itu tidak boleh taklid secara membabi buta dalam masalah aqidah.
Contoh lagi adalah kaum Mu'tazilah yang dalam perkembangannya selalu mengandalkan rasio. Mereka selalu melindungi ajarannya dengan cara mengkaji filsafat Yunani untuk diambil teori-teorinya yang logis. Maka al-Ghazali mengkritik dan mengoreksi aliran ini. Ia berniat untuk mengembalikan aqidah umat Islam kepada aqidah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
3.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu filsafat (filosof)
Setelah beliau mendalami ilmu kalam, ternyata beliau banyak melihat bahaya yang ditimbulkan dari perkembangan pemikiran ilmu kalam dari ‎pada manfaatnya. Ilmu ini lebih banyak mengeluarkan premis-premis yang mempersulitdan menyesatkan daripada menguraikan secara jelas. Al-Ghazali menyatakan bahwa para teolog tidak mampu mencapai pengetahuan yang hakiki jika hanya menggunakan metode ilmu Kalam saja. karena akal manusia mengalami kesulitan untuk mengetahui sifat-sifat dan tindakan-tindakan Allah secara hakiki.
Oleh karena itu Al-Ghazali meninggalkan ilmu Kalam dan pindah mengajar ilmu filsafat. Sejumlah karya filsafat, terutama karya Ibn Sina, dibaca dan dikajinya dengan tekun.[18]Hingga ia menjadi seorang filosof dan memunculkan sebuah kitab yang berjudul Maqasid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filosof).
Pada bidang filsafat pun Al-Ghazali banyak menentang kecenderungan para filosof yang dipandang sangat membahayakan akidah, untuk meluruskan maka Al Ghazali menulis kitab Tahafut al-Falasifah(Kebingungan para filosof).[19]
DalamTahafudz al-Falasifah beliau menjelaskan bahwa tiga persoalan filsafat yang bisa menyebabkan kufur dan pengingkaran nash syar'i. Masalah tersebut adalah:
a.    Masalah alam kekal
b.    Tuhan tidak mengetahui perincian dari segala yang terjadi di alam
c.    Pembangkitan jasmani tidak ada.[20]
Menurut al-Ghazali, dalam berfilsafat orang harus mempertimbangkan dan berpikir dengan al-Qur'an dan hadits disamping menggunakan logikanya.
4.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu kebatinan
Setelah mendalami filsafat, Imam Al Ghazali melihat bahwa, ternyata filsafat tidak mampu menyingkap ilmu metafisik, bahkan banyak melahirkan kekacauan dalil.
Melihat hal ini, al-Ghazali tidak tinggal diam. Mula-mula al-Ghazali melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang dijadikan dasar kaum kebatinan. Kemudian makalah-makalah yang telah mereka susun rapi dikajinya secara mendalam. Hasil penelitiannya disusun, kemudian dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai usaha untuk mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak dan dalam rangka memperoleh ilmu yang hak juga.[21]
Hal ini dilakukan oleh al-Ghazali dalam rangka mengembalikan dan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menurutnya Imam yang ma'shum seperti yang dikatakan oleh pengikut aliran kebatinan hanyalah tokoh ideal yang ada dalam alam idea.
5.    Al-Ghazali sebagai seorang ahli ilmu tasawuf
Setidaknya ada dua faktor yang ada pada sufisme, sehingga al-Ghazali tertarik untuk melaksanakannya.[22]Pertama, karena sufisme memiliki dua aspek esensial: teori dan praktek (ilmu dan amal). Seorang sufi tidak hanya mengerti apa arti hidup zuhud (asketis), tetapi dia betul-betul melaksanakan apa yang dimaksud dengan zuhud tersebut dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan ketiga golongan yang ditelitinya: ahli kalam, filsuf, dan bathiniyyah, karena ketiga golongan itu hanya mengutamakan salah satu aspek saja, yaitu dari aspek teoritis belaka.
Kedua, karena sufisme menawarkan suatu jenis pengetahuan yang langsung diterima oleh Allah bagi siapa saja yang melaksanakannya. Dengan daya tarik itu, al-Ghazali betul-betul berusaha melaksanakan kehidupan sufi secara nyata, setelah menguasai pengetahuan sufisme secara mendalam. Ia menjadi sufi yang berhasil. Ia sungguh-sungguh mengalami Allah yang bersabda dan memberikan pengetahuan yang menurutnya tak terhitung banyaknya.
Imam al-Ghazali dalam karyanya al-Munidz min adh-Dhalal mengatakan: “Banyak sekali rahasia dan misteri telah diungkapkan kepadaku dalam pengasingan dan penyendirianku (khalwat) bersama Allah.”[23] Keberhasilan sufi sendiri bukanlah melulu kehendak manusia. Al-Ghazali sendiri berkata bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk berbuat dalam diri manusia.[24] Jadi, sufisme di sini juga menjadi suatu bentuk tanggapan akan daya Allah yang mendorong manusia untuk semakin dekat dengan-Nya dan dengan demikian, manusia mendapatkan pengetahuan dari Allah yang lebih sempurna.
Al-Ghazali mengaku memperoleh keyakinan sampai ke tingkat keyakinan akan kebenaran yang bersifat matematis. Adanya keyakinan itu disebabkan karena adanya pengetahuan, yang dalam konsepsi al-Ghazali disebut:
a.    Ilmu “mukasyafah” (karena diperoleh melalui ‘terbukanya’ hijab antara hati dan Luh Mahfuzh;
b.    Ilmu “musyahadah” (karena diperoleh melalui penyaksian langsung dengan mata hati atau bashirah terhadap Luh Mahfuzh, sebagai sumber pengetahuan);
c.    Ilmu “al-bathin” (karena pengetahuan itu diperoleh melalui batin bukan lahir);
d.   “al-ma’rifah” (karena pengetahuan ini diterima langsung dari Allah tanpa belajar, dan dengan itu orang mengalami pengenalan hakiki mengenai Allah);
e.    “nur-ilahi” (karena berupa sinar pengetahuan Tuhan yang dicampakan-Nya ke dalam hati orang yang dikehendaki-Nya.
f.     “al-ilm al-khafi” (karena pengetahuan ini harus disembunyikan oleh orang-orang yang memperolehnya, kecuali terhadap orang yang juga mendapatkannya).[25]
Secara umum Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu:
1.    Ilmu fardhu 'ain.
Menurut Al-Ghazali: Ilmu yang fardhu ‘ain yaitu segala macam ilmu untuk mengenal Allah, mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui perkara ghaib, mengetahui cara beribadat, mengetahui halal dan haram, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan menjaga hati dan amalan hati, seperti sabar, ikhlas, dan sebagainya. Di sinilah lahir istilah-istilah ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf.
2.    Ilmu fardhu kifâyah.
Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang perlu diketahui untuk keperluan dan keselarasan hidup di dunia. Tanpanya manusia menempuh kesusahan dan tidak dapat menyempurnakan tuntutan fardhu ‘ain.
Al-Ghazali menyebutkan:  "....bidang-bidang  ilmu  pengetahuan  yang  termasuk  fardhu  kifayah  ialah,  ilmu kedokteran, berhitung, pertanian, pertenunan, perindustrian, keterampilan menjahit, politik dsb.” [26] 
___________________________________________
 
[1] Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti, (Jakarta: Narasi, 2008), 182.
[2] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 53.
[3]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 83.
[4] Mubin Ardiansyah, Epistemologi Menurut Al-Ghazali: Studi Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali, (Malang: Skripsi Tidak Diterbitkan, 2007),  72.
[5] Anwar, Filsafat Ilmu..., 57-58.
[6]Ibid., 59.
[7] Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, terj. Amrouni, (Jakarta: PT Riora Cipta, 2000),18-20.
[8] Anwar, Filsafat Ilmu...,64.
[9] Nata, Pemikiran Para Tokoh...., 84.
[10] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004), 268.
[11] Nata, Pemikiran Para Tokoh...., 84.
[12]Ibid., 84
[13] Anwar, Filsafat Ilmu…, 68-69.
[14] Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),13.
[15] Sabrur R Roenardi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer Sibawaihi, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004), 40.
[16] Ini karena ia belajar dari gurunya al Juwaini dan al Juwaini adalah seorang penganut aliran Asy'ariyah.
[17]Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali…, 14.
[18]Ibid., 16.
[19]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 81.
[20] Maftuhin, Diktat Pengantar Filsafat Islam, (Tulungagung: Tidak Diterbitkan, 2001), 68.
[21]Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali…, 20.
[22] Zurhani Jahja, Teologi Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 212.
[23] Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, (Bandung:Pustaka Hidayah,1996), 38.
[24] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pebandungan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,2002), 111
[25] Jahja, Teologi Al-Ghazali…, 240.
[26]http://pendislami.tripod.com/klasifikasi_ilmu.htm,Pembagian Ilmu dalam Pendidikan Islam, diakses tanggal 23 April 2010. Untuk lebih jelasnya lihat juga di Imam Al-Ghazali, Ihya'u Ulum al-Dien, (Beirut-Libnan: Dar al-Fikr, t.t.), 19.

Komentar