Pendahuluan
Al-Qur’an
sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang
terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an
sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya, Alquran sebagai referensi yang berharga bagi umat Islam akan terasa bila seseorang memahami
seluk-beluk terkandung di dalamnya melalui jalur yang salah satunya disebut
tafsir. Tafsir itu sendiri secara terminologis bermakna sebuah ilmu yang
memahamkan manusia akan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
melalui Jibril As, menjelaskan makna-maknanya, menyarikan hukum dan
hikmat di dalamnya.
Untuk maksud itulah, sekian tafsir
ditawarkan ulama untuk menggali samudera al-Qur’an yang begitu luas dan
mendalam. Tarsir secara garis besar dibagi tiga, yakni tafsir bil ma’tsur (tafsir yang rujukan utama kepada
al-Qur’an, hadits and atsar sahabat), tafsir bi al-ra’yi (tafsir yang kemampan rasionalitas yang dimiliki
dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi). Dan
Tafsir al-Isyari (tafsir yang rujukan utama adalah isyarah Allah dalam
pendekatan sufi). Sementara corak-corak tafsir yang berkembang adalah: tafsir
al-ahkam (tafsir hukum), tafsir ilmi (tafsir ilmiah), tafsir
adabi (tafsir sastera), tafsir sufi (tafsir tasawuf), tafsir
falsafi (tafsir filsafat), tafsir ijtima’i (tafsir sosial) dan
lainnya.
Urgensitas dari tafsir ahkam
didasari pada sebuah pertimbangan bahwa tidak semua permasalahan yang dimuat
al-Qur’an secara rinci; menurut perkiraan para ahli hanya ada sekitar 500 ayat
atau 8 % dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang mengandng ketentuan tentang iman,
ibadat dan hidup kemasyarakatan. Khusus mengenai masalah muamalah
dan sosial kemasyarakatan hanya 228 ayat, dengan rincian sebagai berikut: 70
ayat tentang hidup kekeluargaan, perkawian, perceraian, warisan dan
sebagainya; 70 ayat tentang perdagangan, perekonomian, jual beli sewa menyewa,
pinam-meminjam, gadai, pereroan kontrak dan
sebagainya; 10 ayat tentang sistem pemerintahan, hubungan antara rakyat dan
pemerintah dan sebagainya, 25 ayat tentang hubungan bilateral dan atau
multilateral antara negara-negara Islam dan negara lain di dunia, dan juga
hubungan antara muslim dannon muslim dan sebagainya; dan 10 ayat tentang
hubungan orang kaya dengan orang miskin, termasuk sistem pengelolaan harta
kekayaan, baik kekayaan pribadi, maupun masyarakat atau jama’ah dan . Ada sasaran dari kajian tafsir ahkam adalah menggapai
acuan yang mampu mengintegrasikan keislaman dan kearifan lokal dalam konteks
sosial, politik, budaya maupun agama. Dalam integrasi tersebut diharapkan dapat
memberikan visi moralitas transidental
B.
Metode dan Corak Tafsir
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut
al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat:
Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini
mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh
ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju.
Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara
luas dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan
dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal
adalah Tafsir Jalalain.
Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran
berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara
membandingkannya.
Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir
mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Menurut Quraish Shihab, ada enam corak penafsiran
terhadap ayat-ayat Alquran yang dikenal selama ini, yaitu:
1)
Corak sastra bahasa
2)
Corak filsafat dan teologi
3)
Corak penafsiran ilmiah
4)
Corak fikih atau hukum
5)
Corak tasawuf
6)
Corak sastra budaya
kemasyarakatan.
Sedangkan Muhammad Amin Suma berpendapat, selain
corak-corak di atas, ia menambahkan beberapa corak lagi dalam penafsiran
Alquran, yaitu: corak tarbawi (Pendidikan) dan corak Akhlaqi. Abdul
Hay al-Farmawi menjelaskan bahwa dalam tafsir tahlili ada beberapa corak
penafsiran, yakni tafsir bi al-Ma`tsur, tafsir bi ar-Ray`, tafsir
ash-Shufi, tafsir al-Fiqhi, tafsir al-Falsafi, tafsir al-`Ilmi,
dan tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
C.
Pengertian Tafsir Ahkam
Kata “tafsir” berasal dari
bahasa Arab fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan,
pemahaman dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa
tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pengertian tafsir seperti
dikemukakan para pakar al-Qur’an tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, akan
tetapi esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan
makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya
maupun sebab nuzul-nya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat
menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
Sementara itu Imam az-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang
membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai
dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya,
Abu Hayan, sebagaimanan dikutip al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu
yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal
al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk
mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah
yang terkandung di dalamnya.
Dari definisi-definisi di atas
dapat ditemukan tiga ciri utama tafsir.
Pertama, dilihat dari
segi objek pembahasannya adalah kitabullah (al-Qur’an) yang di dalamnya
terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad
Saw. melalui malaikat Jibril.
Kedua, dilihat dari
segi tujuannya, adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan
al-Qur’an sehingga dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang
terkandung di dalamnya.
Ketiga, dilihat dari
segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para
mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,
sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat
dapat diambil suatu pengertian bahwa tafsir adalah usaha manusia dalam memahami
al-Qur’an dengan melakukan berbagai
metode dan pendekatan.
Sementara istilah “hukum”
(jamak: ahkam) itu sendiri ada yang mengartikan:
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين
إقتضاء أو تخييرا أو وضعا
“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf,
baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat,
penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi tersebut ditegaskan
bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah, untuk mengatur
perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Hukum yang
merupakan khitab Allah tersebut bagi umat Islam tertuang dalam al-Qur’an dengan
klasifikasi hukum sebanyak 228 ayat.
D.
Klasifikasi Hukum Dalam Alquran
Secara garis besar, hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga
macam:
Pertama, hukum-hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. mengenai apa-apa yang harus
diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti
keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang
menyangkut keyakinan ini disebut hukum i’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu
Tauhid” atau “Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum
yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus
dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan
bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian
dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum
yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahiriahnya dalam
hubungan dengan Allah Swt., dalam hubungan dengan sesama manusia, dalam bentuk
apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum
amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Abdul Wahab Khallaf, seperti dikutip Muin Umar dkk., membagi hukum amaliyah
menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara
manusia dan Allah Swt.
2.
Hukum-hukum mu’amalah, seperti akad, pembelanjaan,
hukuman, jinayat, dan lain-lain selain ibadah, yaitu yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia baik perorangan maupun kelompok. Inilah yang
disebut hukum mu’amalah, yang dalam hukum modern bercabang-cabang sebagai
berikut:
a.
Hukum badan pribadi, tentang manusia, sejak adanya
dan kemudian ketika bergaul sebagai suami istri. Di dalam al-Qur’an terdapat
sekitar 70 ayat (akhwalusy akhabiyah)
b.
Hukum perdata, yaitu hukum mu’amalah antara
perseorangan dengan perseorangan dan juga masyarakat, seperti jual-beli,
sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat
tentang ini sekitar 70 ayat (ahkamul madaniyah)
c.
Hukum pidana, sekitar 30 ayat (ahkamul jinayah)
d.
Hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan
pengadilan kesaksian dan sumpah, sekitar 13 ayat (al-ahkamul murafa’at)
e.
Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan
dengan hukum dan pokok-pokoknya. Yang dimaksudkan dengan ini ialah
membatasi hubungan antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan
hak-hak masyarakat. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkam dusturiyah)
f.
Hukum ketatanegaraan, yaitu
hubungan antara negara-negara Islam dengan negara bukan Islam, tata cara
pergaulan dengan selain muslim di dalam negara Islam. Semuanya baik ketika
perang maupun damai sekitar 25 ayat (al-ahkamud dauliyah)
g.
Hukum tentang ekonomi dan keuangan,
yaitu hak orang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan
antara fakir dan orang-orang kaya, antara negara dengan perorangan. Ayat
tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamul iqtishadiyah wal maliyah).
E.
Jumlah dan Karakteristik Ayat Ahkam
Jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran relatif sedikit,
bahkan tidak mencapai 1/10 dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Diperkirakan jumlah
ayat hukum lebih kurang 250 ayat, ada pula yang menyatakan 200 ayat seperti
yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, dan 400 ayat dalam Ahkam al-Quran Ibn
al-Arabi. Sedangkan menurut penghitungan Abdul Wahhab Khallaf, jumlahnya
sekitar 228 ayat. Bahkan jika pendapat Syeikh Thantawi Jawhari diikuti, ia
mengatakan ayat hukum di dalam Al-Qur’an lebih kurang 150 ayat. Lepas dari
perbedaan jumlah ayat hukum, apakah 150 atau 400 ayat, atau lebih dari itu,
namun yang jelas ada semacam kesepakatan di kalangan pakar bahwa ayat hukum
tidak lebih dari 500 ayat.
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa Ayat-Ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan masing-masing tersebut berjumlah :
a. Yang
berhubungan dengan ibadah, sebanyak 140 Ayat.
b. Yang
mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat.
c. Yang
berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 Ayat.
d. Yang
berhubungan dengan perdata, sebanyak 70 Ayat.
e. Yang
berhubungan dengan hubungan Islam dan bukan Islam, sebanyak 25 Ayat.
f. Yang
berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 Ayat.
g. Yang
mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 Ayat.
h. Yang
mengenai hubungan kaya dan miskin, sebanyak 10 Ayat.
Dari sisi karakternya, Ayat-ayat hukum dapat
dibedakan dalam dua kategori.
Pertama,
ayat-ayat yang bersifat qath’iyah. Ayat-ayat ini tidak dapat berubah
hukumnya dalam berbagai keadaan, situasi, kondisi, zaman, tempat dan waktu.
Artinya tidak boleh ada intervensi akal dan fikiran manusia dalam merumuskan
hukum-hukumnya, akan tetapi hukum-hukumnya berlaku sejak ayat-ayat itu
diturunkan sampai berakhir kehidupan di atas permukaan bumi ini, dan tidak akan
pernah mengalami perubahan. Para mujtahid tidak diberi wewenang untuk melakukan
ijtihad dalam bidang ini, baik dengan melakukan penafsiran, pensyarahan maupun
membuat penakwilan yang berbeda dengan tekstual ayat. Penunjukannya terhadap
hukum tertentu dengan sangat detail, jelas dan tidak memiliki penafsiran ganda,
seperti halnya ayat-ayat tentang ibadah, mawaris, hudud dan qishash.
Kedua,
ayat-ayat yang bersifat zhanniyah. Ayat-ayat ini dapat berubah hukumnya
sesuai dengan perubahan keadaan, ‘uruf, zaman dan tempat. Artinya para
mujtahidnya diperkenankan mengintervensi dalam memformulasi hukum-hukum yang
dikandungnya sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan tempat, waktu dan
keadaan. Penunjukannya terhadap hukum tidak mendetail, akan tetapi memuat norma
dasar yang bersifat global, sehingga memiliki penafsiran ganda.
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an menggunakan bahasa hukum yang luas, luwes,
lugas dan akurat. Luas, karena al-Quran hampir atau bahkan selalu menampilkan
kosa kata pilihan yang bersifat substansial universal (jawami’ al-kalim).
Luwes, karena ayat-ayat hukum dalam al-Quran memiliki banyak makna (musytarak)
di samping kaya dengan sinonim (muradif). Dengan
bahasa hukum yang singkat dan akurat, tetapi luas dan luwes, pada satu pihak
menyebabkan ayat-ayat hukum Al-Quran mampu menjangkau persoalan-persoalan hukum
sejenis, sementara pada pihak yang lain, juga mudah beradaptasi yang
menyebabkan hukum Al-Quran tetap dinamis. Di sinilah letak elastisitas hukum Al-Quran yang selalu
sesuai dengan tuntutan zaman.
Seiring
dengan hal itu fitrah manusia yang memiliki naluri untuk berfikir (berijtihad)
tidak terhambat. Seterusnya pintu ijtihad untuk mengembangkan kreatifitas nalar
manusia (mujtahid) dalam bidang hukum terbuka lebar tidak pernah ditutup.
F.
Kitab Mu’tabar dalam Tafsir Ahkam
1.
Tafsir al-Jami’ li ahkam
al-Qur’an li Qurthubi
Penulis tafsir al-Qurtubi bernama
Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibnfarh al-Anshari al-Khazraji Syamsy
al-Din al-Qurtubi al-Maliki. Ulama besar seorang faqih besar dan mufassir (ahli
tafsir al-Qur'an) dari abad ke- 7 H yang terkenal, Ia dianggap sebagai salah
seorang tokoh yang bermazhab Maliki. Al-Qurthubi dalam tafsir “al-Jami’ li
ahkam al-Qur’an” menggunakan bentuk penafsiran pemikiran (bi ra’yi). Walaupun di dalam penafsirannya terdapat hadits-hadits
Rasul dan pendapat ulama terdahulu. Karna menurut al-Qurthubi penafsiran bi
ra’y adalah penafsiran yang menggunakan pemikiran dan di dukung oleh
hadits-hadits dan pendapat ulama yang terdahulu
2.
Rawai’ul Bayan fi Tafsir Ayat Al Ahkma li Ashabuni
Rawa’i
Al-Bayan Fi Tasair Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an. Kitab ini mengandung keajaiban tentang
ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an. Kitab ini dalam dua jilid
besar, ia adalah kitab terbaik yang pernah dikarang perihal soal ini, sebab dua
jilid ini, telah dapat menghimpun karangan-karangan klasik dengan isi yang
melimpah ruah serta ide dan fikiran yang subur, satu pihak dan karangan-karangan modern dengan gaya yang khas dalam segi
penampilan, penyusunan, dan kemudian uslub di pihak lain
3.
Tafsir Ahkamul Quran Ar-Razi
Penulis
kitab ini adalah Abu Baker Ahmad bin Ar-Razi,dikenal dengan nama Al-Jasshash,
Dia salah seorang imam fikih Hanafi pada abad 4 H. Akam Al-Qur’an itu adalah
karyanya yang dipandang sebagai kitab tafsir fikih terpenting, khususnya bagi
penganut madzhab Hanafi. Dalam kitab ini penulis memfokuskan pada penafsiran
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum furu’ ia mengemukakan satu atau
beberapa ayat lalu mejelasakan maknanya secara ma’tsur, dengan
perspektif fikih. Salanjutnya ia mengetengahkan berbagai perbedaan antar
madzhab fikih tenteng hal berkenaan, oleh sebab itu, kitab ini di rasa oleh
pembaca bukan lagi sebuah tafsir, tetapi kitab fikih.
4. Tafsir “Ahkam
Al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi
Penulis
kitab ini adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin
Ahmad Al-Ma’arrifi Al-Andalusi Al-Isyibili yang lebih dikenal dengan Ibnu
‘Arabi, salah satu ulama Andalusia yang luas ilmunya. Dia bermadzhab Maliki.
Kitabnya yang bertajuk Ahkam Al Qur’an, merupakan rujukan bagi tafsir fikih
kalangan pengikut Maliki.
File Bisa Didownload di link berikut : Klik Scribd
Hasil browsing dari sini
[1] Makalah ini disampaikan sebagai pengantar
matakuliah Tafsir Ahkam di Jurusan Syariah Ahwal Al-Syakhsyiyyah Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAI) Samalanga di hadapan
Mahasiswa Sem. IV Prodi SAS., 14 Februari 2013.
Komentar
Posting Komentar