I. PENDAHULUAN
Wahai
Tuhanku, jika aku menyembah-Mu, karena takut dari siksa neraka-Mu
,maka bakarlah diriku dengan api itu. Dan jika menyembah-Mu karena
mengharapkan masuk ke surga-Mu, maka haramkanlah surga itu dari diriku.
Namun, jika aku menyembah-Mu, karena cinta kepada-Mu, maka berikanlah
balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu
Yang Agung dan Mulia.[1]
Syair
di atas adalah do’a yang dipanjatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, nama
yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Seorang perempuan yang
mencapai derajat luhur dalam perjalanan sejarah sufi. Beliau memperoleh
penghargaan tinggi, namanya tertulis dengan tinta emas dalam lembaran
sejarah. Prestasi taqwa dan zuhud yang ia miliki telah mengangkatnya
pada kedudukan luar biasa, yang tak pernah dicapai oleh perempuan
manapun.
Rabi’ah adalah perempuan sufi yang dianggap sebagai perintis aliran tasawuf Hubbul Illahiyah.[2]
Beliau mengajak manusia berbagi rasa dalam bertaqwa. Mencintai Allah
melebihi segala yang ada. Mengesampingkan urusan dunia yang bersifat
sementara dan fana. Setiap langkah perjalanan waktu diprioritaskan
kepada ibadah serta mencintai Allah Swt. Di lubuk hati yang paling dalam
tak pernah tersentuh perasaan cinta, kecuali cinta kepada Allah.
Diantara ucapan beliau yang terkenal adalah sebagaimana diriwayatkan dalam Kasyf al-Mahjub
karya al_Hujwiri : “suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang
hartawan berkata kepada Rabi’ah: mintalah kepadaku segala kebutuhannmu!
Jawab Rabi’ah: aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Yang
Pemiliknya, maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada yang bukan
pemiliknya?”[3]
Semasa
hidupnya, Rabi’ah menghabiskan hidupnya hanya untuk “mencintai Allah”
tidak ada ruang kosong dalam hatinya untuk mencintai manusia, khususnya
lelaki sebagai pendamping hidupnya. Beliau mengajarkan kepada umat Islam
agar dalam melaksanakan ibadah senantiasa di dasari karena cinta kepada
Allah bukan karena makhluk-Nya. Di antara ajaran beliau dalam sufisme
adalah tentang taubat, zuhud dan sabar, disamping ajaran tasawufnya yang
terkenal, yakni al-Mahabbah.
Karena
informasi mengenai biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya
bercorak mitos, maka pemakalah mengalami kesulitan untuk mencari
referensi. Ditambah lagi adanya kesimpangsiuran, apakah Rabi’ah pernah
dilamar oleh Hasan al-Bashri atau tidak? Dan apakah dia pernah menikah
atau tidak. Dan bagaimana sebenarnya ajaran-ajaran Rabi’ah al-Adawiyah.
Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas permasalahan mengenai siapa
Rabi'ah Adawiyah itu, dan beberapa ajaranya secara ringkas.
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
Menurut Ibnu Khalikan, nama lengkap Rabi’ah al-Adawiyah adalah Ummul Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah.[4]
Dia dilahirkan sekitar awal abad kedua Hijrah di kota Basrah Iraq. Para
ahli sejarah mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun dimana Hasan
Bashri memulai mengadakan majlis ta’limnya. Peristiwa itu terjadi pada
tahun 95 H atau 96 H.[5] Yang kemudian dikutip oleh Margaret Smith dalam disertasinya yang berjudul Rabi’ah the Mystic & Her Fellow – Saints in Islam, yang menulis bahwa Rabi’ah mungkin lahir sekitar tahun 95-99 H di Bashrah, di mana ia banyak menghabiskan kehidupannya di sana.[6] Dalam Ensiklopedi Islam, ditulis bahwa Beliau lahir tahun 95 H/713 M.[7]
Pada
awal abad ke-2 Hijrah, Iraq telah membangkitkan getar hati manusia
dengan semangat dan kekuatan peradaban kehidupan. Kota Bashrah ketika
itu bagaikan bintang yang berkelap-kelip di Iraq. Kota itu telah terbuka
pintu-pintunya bagi para ulama dan pemikir, kota itu benar-benar
menjelma menjadi tempat berkumpulnya keagungan raja-raja Persia dengan
barang-barang mewahnya, hingga kota itu bergelimang penuh dengan
kemewahan, keagungan dan keindahan. Keadaan hidup masyarakat Islam dalam
pemerintahan Bani Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan
ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai
berlumba-lumba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat
tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin
diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’
serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Dalam
kehidupan mewah yang menakjubkan, yang gemerlap antara keimanan dan
pengetahuan, di antara senda gurau dan harta berlimpah, hiduplah
sekelompok kaum miskin yang terpencil dari mereka. Di antara ratusan
gubuk yang bertebaran di pinggiran kota Bashrah, di mana kaum miskin
hidup, terdapat sebuah gubuk kecil sederhana. Seluruh penduduk Bashrah
mengenalnya sebagai Kukh al-‘Abidah (gubuk ahli ibadah). Setiap
tahunnya, gubuk ini menyambut seorang bayi perempuan cantik yang
menguras air mata dari ibunya, karena sang ibu melihatnya sebagai beban
penderitaan yang baru. Sedangkan sang suami, menyambut sang bayi dengan
senyuman dan rasa syukur, sebab ia hanya melihat segala yang berasal
dari Tuhan Yang Qadim, adalah nikmat dan kebaikan belaka.[8]
Rabi’ah lahir di dunia tanpa panggilan yang indah dan menawan. Cukup “Anak keempat”, yang dalam bahasa Arab disebut Rabi’ah. Ia
tidak memiliki nama bagus sebagaimana lazimnya anak yang lahir pada
masanya. Namanya sekedar pernyataan bahwa ia anak keempat dari keluarga
Ismail al-Adawi.[9]
Fariduddin
Al-Aththar (513 H – 627 H), Penyair mistik Persia, dalam melukiskan
keprihatinan Rabi’ah menulis bahwa ia dilahirkan di rumah, dimana tidak
ada sesuatu pun yang dapat dimakan dan yang dapat dijual. Malam gelap
gulita gulita karena minyak untuk penerangan juga telah habis.[10]
Al-Aththar
juga mengemukakan sebuah cerita mengenai pertumbuhan Rabi'ah yang suci
dan penuh ketakwaan, bahwa Rabi'ah telah mengenal halal-haram pada saat
memasuki usia bermain dan bercengkrama. Ia tumbuh bersama dengan cahaya
ilahi, dan telah menghafalkan Al-Qur'an serta senantiasa memelihara
waktu shalat pada saat ia berada dalam usia yang masih belia.[11]
Ayah
Rabi'ah wafat saat ia menginjak remaja. Beberapa waktu kemudian wafat
pula ibunya, sehingga Rabi'ah merasakan kepahitan hidup sebagai yatim
piatu yang sempurna, tanpa ayah dan tanpa ibu. Kedua orang tuanya tidak
meninggalkan harta apapun, sehingga penderitaan Rabi'ah semakin
bertumpuk, tidak merasakan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya.
Ketika kota Bashrah mengalami kemarau, Rabi'ah Adawiyah dan
saudara-saudaranya meninggalkan gubuk, menyusuri jalan mencari sesuap
nasi. Nasib memisahkan Rabi'ah dengan saudara-saudaranya.[12]
Ketika
itu Rabi'ah sedang berjalan seorang diri menelusuri lorong jalan kota
Bashrah. Tiba-tiba seseorang menyekap dan menculiknya. Mulutnya
dibungkam dengan sehelai kain. Kemudian ia dibawa, dan dijual dengan
harga enam dirham.[13]
Kemerdekaan
Rabi'ah telah dirampas. Kini ia sebagai hamba sahaya (budak). Menjadi
pembantu di rumah orang yang telah membelinya. Lelaki yang bengis,
biadab, kejam dan tak punya rasa belas kasih. Tubuh Rabi'ah semakin
kering kerontang. Ia diperlakukan dengan kasar. Makanan yang diberikan
hanyalah sisa-sisa mereka. Pakaiannya pun hanya sepotong kain yang sudah
compang-camping.[14]
Meskipun demikian, betapapun pahitnya kehidupan yang dijalani, tetap
diterimanya dengan tabah dan sabar. Shalat malam tetap dilakukan secara
rutin, dan lisannya tak pernah berhenti dari zikir. Istighfar merupakan
senandung yang selalu didendangkan.
Musibah
yang bertubi-tubi malah menjadi motivasi bagi Rabi'ah untuk selalu
mendekatkan diri kepada Allah. sebab dengan ibadah itulah ia dapat
melupakan semua penderitaan dan kesengsaraan yang dialami. Penderitaan
lahir batin ia lalui dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Ia
senantiasa bermunajat, bertasbih dan beristighfar. Saat munajat kepada
Allah, air matanya mengalir dari kelopak sucinya. Ia tidak memohon
kepada Allah untuk membebaskannya dari siksaan yang ia hadapi, tetapi ia
hanya ingin mengetahui satu hal, apakah Tuhannya telah ridha kepadanya,
ataukah tidak ridha ? Rabi'ah Adawiyah tidak menginginkan apapun selain
keridhaan dari Allah.[15]
Pada
suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat
Rabi'ah sedang sujud dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat
hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah
nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun
dari mengabdi kepada-Mu.” Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut,
semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil
Rabi'ah, bersikap lunak padanya, dan membebaskannya.[16]
Setelah
menikmati kebebasan, Rabi'ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah
dan berkhalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada gemerlapan
kehidupan duniawi. Ia hidup menyendiri, tidak menikah, dan enggan
menerima bantuan materiil dari orang lain. Dengan sikap dan kesalehannya
itu, namanya sebagai orang suci dan pengkhotbah makin lama makin harum.
Ia dihormati oleh orang-orang zuhud semasanya dan sering dikunjungi
untuk tukar-menukar pengalaman mengenai masalah kesufian. Para sufi yang
sering berkunjung antara lain Malik bin Dinar (w. 171 H), Sufyan
as-Sauri (97-176 H), Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M), dan lain-lain.[17]
Rabi'ah
memilih menempuh jalan hidup sendirian tanpa menikah, hanya mengabdi
kepada Allah SWT. Pengalaman kesufian ia peroleh bukan melalui guru,
melainkan melalui pengalamannya sendiri. Ia tidak meninggalkan ajaran
tertulis langsung dari tangannya sendiri, akan tetapi ajarannya dikenal
melalui para muridnya, dan baru dituliskan setelah ia wafat.
Terdapat
beberapa keterangan mengenai tahun kematian Rabi'ah. Ada yang menyebut
135 H/752 M, yang lain menyebut 185 H/801 M. Menurut Ibn Jawzi dalam
kitab Shodhur al-‘Aqud, Abu al-Mahasen Taghriberdi dalam kitab an-Nujum al-Zahira, dan Ibnu Ahmad Hambali dalam kitab Shadhar at al-Dhahab, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat pada tahun 135 H. Sedangkan menurut Abdur Ra’uf al-Munawi dalam kitab Tabaqat al-Auliya, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat tahun 180 H. [18] Menurut Louis Masisignon, Rabi'ah meninggal pada usia tidak kurang dari 80 tahun, yakni pada tahun 185 H (801 M).[19]
Pendapat tersebut dikutip oleh Margaret Smith, dimana ia mengatakan
bahwa, Rabi'ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H (801 M) dan ia
dimakamkan di Bashrah.[20]
Dan pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat. Hal ini didasarkan
bahwa Rabi'ah( wafat pada tahun 185 H) adalah persahabatannya dengan
Rabah, dan pertemuannya dengan Sufyan al-Tsauri yang datang ke Bashrah
sesudah tahun 155 H. Dan juga cerita tentang lamaran Sultan Muhammad bin
Sulaiman yang menjadi Gubernur Bashrah dari dinasti Abbasiyah sejak
tahun 145 H sampai dengan tahun 172 H.[21]
B. Ajaran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah
Ajaran-ajaran
Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme
dapat dikatakan sangat besar. Rabi'ah memang identik dengan “cinta” dan
“air mata”, identik dengan citra dan kesucian. Tidak berlebihan apabila
sepanjang zaman para pengkaji sejarah tasawuf, bahkan para penempuh
jalan Sufi sendiri, merasakan adanya kekurangan manakala belum
“menghadirkan” spirit Rabi'ah dalam ulasan dan kontemplasinya. Sebagai
seorang guru dan panutan kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan
panutan oleh para Sufi, dan praktis penulis-penulis besar Sufi selalu
membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya, sebagai seorang ahli
tertinggi. Di antara ajaran-ajarannya adalah mahabbah, taubat, zuhud, dan sabar.
1. Mahabbah
Mahabbah
(rasa cinta) adalah keinginan untuk memberikan barang yang terbaik yang
dimilikinya yakni hatinya, kepada kekasih. Cinta adalah kesatuan niat,
kemauan dan cita-citanya dengan sang kekasih.[22]
Cinta (mahabbah) kepada Allah adalah tujuan puncak dari jenjang-jenjang sufisme. Di dalamnya terkandung unsur Kepuasan Hati (ridha), Kerinduan (syauq), dan Keintiman (uns). Ridha mewakili – pada satu sisi – ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta, syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan Kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta ini seorang ahli akan langsung meraih ma’rifat, dimana
ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya, suatu
penyatuan yang terjadi bukan hanya di dunia saja, tetapi abadi hingga
kehidupan akhirat.[23]
Seorang pecinta, sebagaimana dikatakan oleh Abu Nashr al-Siraj, berada dalam tiga al-ahwal (kondisi atau tahapan) sebagai berikut : Tahapan pertama dari mahabbah adalah mahabbah al-‘Ammah (cinta kaum awam), dari cinta tersebut lahirlah kebaikan Allah dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tahapan kedua adalah mahabbah al-Shadiqin wa al-Mutahaqiqin, yaitu
cintanya orang-orang yang jujur dan terpercaya. Cinta ini terlahir
karena pandangan hati kepada kekayaan Allah, kemuliaan-Nya,
keagungan-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya. Tahapan ketiga adalah mahabbah al-Shiddiqin wa al-‘Arifin, yaitu cintanya kaum orang-orang yang jujur dan ahli makrifat. Cinta ini lahir dari pandangan dan makrifat mereka atas sifat qadim-Nya cinta Allah tanpa adanya sebab. Oleh karena itu merekapun mencintai Allah tanpa sebab.[24]
Rabi'ah
dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu
penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya
adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT).[25]
Ia senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan surga, yang
mengandung segala kelezatan bagi nafsu, dan bagi pandangan mata. Ia
beribadah juga bukan disebabkan oleh karena takut terhadap neraka yang
apinya menyala-nyala. Sesungguhnya Rabi'ah Adawiyah beribadah kepada
Allah, dalam keadaan cinta kepada Allah, cinta terhadap Dzat-Nya yang
suci.[26]
Ia
tidak mau menjadi seperti seorang buruh yang jahat, yang apabila diberi
upah merasa senang dan apabila tidak diberi upah lantas membenci. Ia
juga tidak mau seperti seorang budak yang bekerja karena cambuk atau
karena uang. Rabi'ah Adawiyah ingin agar manusia mengikuti jejaknya,
berjalan di atas pijakan yang ia tempuh. Maksudnya, mereka menyembah
Allah karena Dzat-Nya itu sendiri, bukan karena takut kepada neraka-Nya,
atau karena tamak untuk mendapatkan surga-Nya.
Terkadang,
ia menjelaskan sikapnya ini dengan tamsilan. Suatu hari, orang melihat
Rabi'ah membawa air di tangan kiri, dan api di tangan kanannya. Orang
pun bertanya, “Kemana engkau, Rabi'ah?” dengan tangkas Rabi'ah menjawab, “Saya mau ke langit untuk membakar surga dan memadamkan api neraka, agar keduanya tak menjadi sebab manusia menyembah-Nya”.
Tentu saja orang awam heran melihat perilaku Rabi'ah yang tak masuk
akal itu. Bukankah membakar surga dengan api dunia atau memadamkan api
neraka dengan air dunia adalah kemustahilan ? Tapi orang-orang yang
berilmu mengerti bahwa apa yang tersirat di balik perilaku Rabi'ah itu.
Mereka tahu, ini adalah salah satu caranya, agar manusia menyembah Allah
dengan ikhlas – bukan menyembah-Nya karena surga atau takut neraka.[27]
Apa
yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda
jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut)
dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada
Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk
surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia
mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan
balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap
cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir
Rabi’ah sebagai berikut :
Wahai
Tuhanku, jika aku menyembah-Mu, karena takut dari siksa neraka-Mu
,maka bakarlah diriku dengan api itu. Dan jika menyembah-Mu karena
mengharapkan masuk ke surga-Mu, maka haramkanlah surga itu dari diriku.
Namun , jika aku menyembah-Mu,karena cinta kepada-Mu, maka berikanlah
balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu
Yang Agung dan Mulia.[28]
2. Taubat
Bertaubat
dari dosa-dosa dengan kembali Tuhan Yang Maha Menutupi segala aib dan
Maha Mengetahui segala kegaiban, adalah dasar jalan orang-orang yang
menuju Allah (al-Salikin) dan merupakan modal orang-orang yang beruntung. Taubat adalah langkah awal dari kaum al-Muridin (para pelaku tasawuf), serta merupakan jenjang pertama dari jenjang-jenjang kaum al-Thalibin (penuntut ilmu tasawuf). Dan, seluruh jenjang didirikan di atas dasar jenjang taubat.
Taubat
adalah perjuangan melawana hawa nafsu untuk menjadi benar dan kembali
ke jalan-Nya. Taubat menuntut ditinggalkannya segala kemaksiyatan saat
itu juga (segera). Juga menuntut komitmen untuk meninggalkannya pada
masa yang akan datang, serta pengurangan secara bertahap terhadap
kondisi buruk. Sikap menyesal terhadap dosa yang telah lalu, serta
bersedih atas keadaan seperti itu hukumnya adalah wajib, sebab itu
adalah esensi dari taubat.[29]
Rabi'ah
mengajarkan bahwa dosa itu sangat menyakitkan, sebab ia mampu
memisahkan jiwa dengan Yang Dicinta. Keyakinan bahwa dosa itu adalah
penghalang antara seorang hamba dengan seorang Tuhannya yang akan
membimbing pada jalan kesedihan yang saleh, yaitu perasaan dosa yang
mendalam. Kesedihan semacam itu tampak jelas padanya sebagai tanda-tanda
kesedihan dari luar, misalnya menangis terus-menerus, ciri semacam ini
tampak pada Rabi'ah dan juga para Sufi lainnya sebagai tanda kesalehan,
penyesalan terhadap dosa-dosa atas perbuatan dan kelalaiannya, dan semua
ini akan membakar kesedihan terus-menerus sehingga tidak ada tempat
lagi bagi kesenangan dunia. Dosa bagi Rabi'ah adalah membangkitkan rasa
benci, karena dengan itu akan menyebabkan terpisah antara dirinya dengan
Allah, dan bukannya akan menyebabkan hukuman di neraka kelak.[30]
Menurut Rabi'ah, taubat adalah suatu jenjang dan hal sekaligus. Sebab taubat merupakan ciri abadi kaum beriman. Syarat taubat adalah al-Shidqu (jujur) dan al-Inabah (kembali
ke jalan Tuhan). Sebab permohonan ampunan tanpa bersikap tegas mencabut
diri dari perbuatan dosa adalah taubatnya orang-orang pendusta dan hal
itu merupakan cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang munafik.
Ketika
seseorang berkata kepada Rabi'ah Adawiyah , “aku telah banyak berbuat
dosa dan kemaksiyatan. Apakah Allah benar-benar akan menerima taubatku?”
Rabi'ah Adawiyah berkata, “tidak. Justru yang benar adalah jika Allah
telah menerima taubatmu, pasti engkau akan bertaubat”. Dengan demikian,
Rabi'ah Adawiyah menetapkan suatu teori tasawuf, “Bahwa orang tidak
menempuh suatu jalan, melainkan hal itu karena hidayah dari Allah.
Rabi'ah Adawiyah memandang bahwa taubat adalah merupakan suatu
penghormatan dan pemberian dari Allah kepada hamba-hamba tertentu yang
dikehendaki-Nya.[31]
3. Zuhud
Bersikap
zuhud di dalam kehidupan dunia adalah jenjang (kedudukan) yang mulia,
dan termasuk salah satu dari sekian jenjang kaum suluk. Setiap orang
yang menjual dunia dengan akhirat adalah orang yang zuhud terhadap
dunia. Dan orang yang tidak mencintai sesuatu selain Allah, bahkan
surga-surga, dan hanya cinta kepada Allah, maka ia disebut ahli zuhud
mutlak. Inilah derajat tertinggi.
Rabi'ah Adawiyah adalah seorang zahid
yang menjalani hidup dengan kemiskinan dan pengingkaran diri (nafsu)
hingga akhir hayatnya. Sahabat-sahabatnya berulangkali membujuknya untuk
memberikan bantuan dan mengangkatnya dari kemiskinan, tetapi ia tidak
pernah bersedia menerima uluran tangan mereka dan hanya menyibukkan diri
melayani Tuhannya.
Al-Imam Ahmad membagi zuhud menjadi tiga, Pertama, meninggalkan yang haram, yakni zuhudnya kaum ‘awam; Kedua, meninggalkan kelebihan dari yang halal, yakni zuhudnya kaum Khawwash; Ketiga,
meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan hamba dari Allah. Inilah
zuhud ahli makrifat. Dan zuhudnya Rabi'ah Adawiyah adalah zuhud yang
terakhir (ketiga), karena ia selalu mendendangkan keridhaan Allah.[32]
Dunia tidak ada dalam hati dan pemikiran Rabi'ah. Sehingga ia merasa
malu meminta kepada Allah, karena ia bukanlah apa-apa. Karenanya,
bagaimana mungkin ia akan menerima apalagi meminta sesuatu dari
makhluk-Nya.
Malik bin Dinar memperbincangkan sikap zuhud dan tawakkal yang dimiliki Rabi'ah sebagai berikut :
“Suatu
hari ia datang ke rumah Rabi'ah. Saat itu Rabi'ah sedang minum air dari
bejana yang pecah. Tikar yang terbentang sudah kumuh, sementara yang
dijadikan bantal tidurnya sebuah batu. Melihat kenyataan itu Malik tak
tahan, lalu usul, “Wahai Rabi'ah, banyak kawan-kawan saya yang kaya raya. Sudikah engkau menerima pemberian mereka?”. Dengan tegas ia menjawab, “Wahai
Malik, ucapanmu itu sangat tidak menyenangkan hatiku, dan itu memang
ucapan yang salah. Yang memberi rezeki kepada kawan-kawanmu yang kaya
raya itu adalah Allah yang juga telah memberi rezeki kepadaku. Apakah
engkau akan mengatakan bahwa hanya orang-orang kaya saja yang memperoleh
rezeki, sementara orang-orang miskin tidak? Kalau Allah mentaqdirkan
kondisi kita begini, maka tugas yang perlu kita laksanakan adalah
menerimanya dengan penuh tawakkal”.[33]
Itulah
ilustrasi kezuhudan Rabi'ah Adawiyah, prinsip dan pendiriannya dalam
mensikapi harta dan pemberian dari sesama manusia. Sekiranya Rabi'ah
tidak menjauhkan diri dari kesenangan dunia, tentu ia menjadi orang yang
paling mudah memperoleh kekayaan. Sejak mula ia telah menolak lamaran
Raja Bashrah, yakni Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi,[34]
untuk dijadikan permaisuri. Sekiranya lamaran itu diterima, sudah
barang tentu Rabi'ah menjadi wanita terkaya di negeri Bashrah. Namun,
bukan itu tujuan hidupya. Kecintaan kepada Allah melebihi segalanya, dan
menafikan cintanya kepada makhluk-Nya.
4. Sabar
Sabar
adalah sikap menahan diri terhadap sesuatu yang tidak disukai, atau
menanggung sesuatu yang tidak disukaia dengan bentuk keridhaan atau
penerimaan, serta menanggung rintangan dalam Dzat Allah.[35]
Sedangkan sabar menurut Ensiklopedi Islam adalah menahan diri dalam
menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak
diingini ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi.[36]
Sabar merupakan kondisi mental dalam mengendalikan diri, maka sabar
merupakan salah satu maqam (tingkatan) yang harus dijalani oleh seorang
Sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maqam sabar biasanya
diletakkan sesudah zuhud. Karena orang yang dapat mengendalikan dirinya
dalam menghadapi kelezatan duniawi berarti ia telah berusaha menahan
diri dari kelezatan tersebut. Keberhasilannya dalam maqam zuhud akan
membawanya ke maqam sabar. Dalam maqam sabar ini tidak lagi tergoncang
oleh penderitaan dan hatinya sudah betul-betul teguh dalam menghadap
Allah..
Sabar mempunya tiga unsur, yaitu ilmu, hal, dan amal. Yang dimaksud dengan ilmu
di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung
kemaslahatan dalam agama dan memberi manfaat bagi seseorang dalam
menghadapi segala problem kehidupan. Pengetahuan yang demikian
seterusnya menjadi milik hati. Keadaan hati yang memiliki pengetahuan
demikian disebut hal. Kemudian hal tersebut terwujud dalam tingkah laku. Terwujudnya hal dalam tingkah laku disebut amal. Al-Ghazali mengumpamakan tiga unsur kesabaran itu laksana sebatang pohon kayu. Ilmu adalah batangnya, hal sebagai cabangnya, dan amal menjadi buahnya.[37]
Abu Thalib membagi kesabaran menjadi tiga tahapan, sebagaimana pandangan kaum sufi. Pertama, menghentikan keluhan, dan ini termasuk dalam tahapan pertobatan. Kedua, merasa puas dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah, dan ini adalah tingkatan dalam asketisisme atau zuhud. Ketiga, menerima
dan menyenangi semua yang telah ditentukan oleh Allah kepada kita, dan
ini termasuk dalam tahapan seorang sahabat sejati Allah.[38]
Untuk
mengetahui ajaran tentang sabar oleh Rabi'ah Adawiyah dapat diketahui
dengan jelas dalam setiap rentang kehidupannya, bahkan pada saat ia di
usia anak kecil. Ketika itu ia duduk bersama dengan keluarganya pada
saat makan malam. Sebelum menyantap hidangan yang sudah tersedia,
Rabi'ah memandang ayahnya seraya berkata, “ Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi hanya karena ayah merasa kewajiban memberi nafkah kepada kami”. Ayah
ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi'ah. Makanan yang sudah di
mulut tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi'ah dengan pancaran sinar mata
yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum ia berkata, “Wahai Rabi'ah,
Bagaimana pendapatmu sekiranya ayah tidak menemukan makanan kecuali yang
haram?”. Dengan tangkas Rabi'ah menjawab, “ Kita harus banyak
bersabar. Karena menahan lapar di dunia jauh lebih ringan dan lebih baik
daripada menanggung siksa neraka di akhirat”.[39]
Pada saat berada dalam perbudakan, Rabi’ah selalu bermunajat kepada Tuhannya :
Tuhanku,
aku adalah seorang yatim yang tersiksa, terbelenggu di rantai
perbudakan. Aku selalu menanggung segala kepedihan, dan aku akan selalu
bersabar menhannya. Akan tetapi ada siksaan yang lebih dahsyat dari
siksaan ini, yang mengguratkan keperihan pada jiwaku dan meruntuhkan
benteng kesabaranku di dalam diriku, yakni adanya keraguan yang
berputar-putar di hatiku; (untuk selalu bertanya) Apakah Engkau ridha
kepadaku? Itulah puncak keinginanku.[40]
Dan
untuk lebih memahami mengenai kesabaran Rabi'ah Adawiyah, tidak ada
salahnya kita perhatikan kisah berikut :b suatu hari Sufyan al_Tsauri
mengunjungi Rabi'ah pada saat ia sedang sakit. Lalu Sufyan al-Tsauri
berkata padanya, “Berdoalah kepada Allah, semoga Dia akan meringankan
rasa sakitmu”. Rabi'ah Adawiyah berkata, “Wahai Sufyan al-Tsauri,
siapakah yang mendatangkan sakit ini?” Sufyan al-Tsauri menyahut,
“Dialah Allah Swt”. Rabi'ah Adawiyah lalu berkata, “Jika sudah menjadi
kehendak Allah untuk mengujiku dengan cobaan ini, maka bagaimana mungkin
aku berani berhadapan dengan-Nya dengan berpura-pura tidak mengetahui
kehendak-Nya”.[41]
III. ANALISIS
Rabi'ah
Adawiyah adalah orang pertama yang memindahkan konsep zuhud ke puncak
sufisme. Ia adalah orang pertama yang mengubah konsep-konsep sufisme
dari al-Khauf (takut) menjadi al-Hubb (cinta), dari al-Ra’b (ketakutan) menjadi al-Ma’rifah (mengenal), dari al-Hirman (penolakan) menjadi al-Ridha (pasrah), dari al-Qaswah (keras dan kaku) menjadi al-Isyraq (pujian).
Semasa
hidupnya, Rabi’ah menghabiskan hidupnya hanya untuk “mencintai Allah”
tidak ada ruang kosong dalam hatinya untuk mencintai manusia, khususnya
lelaki sebagai pendamping hidupnya. Beliau mengajarkan kepada
umat Islam agar dalam melaksanakan ibadah senantiasa di dasari karena
cinta kepada Allah bukan karena makhluk-Nya.
Mahabah
sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk
mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi'ah setelah
melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud ke
tingkat ridla, dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada
Allah SWT.
Cinta kepada Allah (mahabbatullah),
dan cinta pada Rasul-Nya, merupakan seagung-agungnya kewajiban
keimanan, sebesar-besarnya pokok keimanan, dan semulia-mulia dasar
keimanan. Bahkan ia merupakan pokok setiap amal perbuatan dari segala
perbuatan keimanan dan keagamaan. Setiap gerak dan perbuatan muncul dari
mahabbah, baik itu dari mahabbah yang terpuji (mahmudah) maupun yang dari mahabbah yang tercela (madzmumah).[42] Seluruh amal perbuatan keimanan itu tidak lahir kecuali dari mahabbah mahmudah, yaitu cinta kepada Allah. Sementara amal yang lahir dari mahabbah madzmumah di sisi Allah itu tidak menjadi amal saleh.
Rabi'ah
adalah pelopor di dalam meletakkan kaidah-kaidah rasa cinta dan rasa
sedih di dalam perkembangan tasawuf Islam. Dialah yang meninggalkan
bisikan-bisikan kejujuran dalam mengungkapkan renungan tentang cinta dan
kesedihannya. Puisi dan prosa mendominasi sastra Sufi sesudah masa
Rabi'ah adalah bau semerbak dari sekian banyak keharuman Rabi'ah
Adawiyah, sang pelopor dalam kecintaan dan kesedihan di dalam Islam.
Orang yang mencintai secara sempurna tidak akan terpengaruh oleh celaan
para pencela dan hinaan para penghina. Malah hal itu menjadikannya
terdorong untuk mengokohkan mahabbahnya kepada Tuhannya.
A. Kontroversi Sekitar Kehidupan dan Ajaran Rabi'ah Adawiyah
Ketika
kita mempelajari biografi dan ajaran Rabi'ah Adawiyah, maka akan kita
temukan beberapa kontroversi, yang itu disebabkan oleh informasi
mengenai biografinya ajarannya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya
bercorak mitos saja. Di antaranya tentang tahun wafatnya, pernah
tidaknya Rabi’ah dilamar oleh Hasan al-Bashri, benarkah ia mengharamkah
dirinya untuk menikah, dan pertemuannya dengan Dzunnun al-Mishri dsb.
1. Tahun wafatnyaa Rabi'ah Adawiyah
Terjadinya
perbedaan tentang wafatnya Rabi'ah disebabkan oleh sebagian besar
penulis sejarah yang khusus menulis biografi dan ajaran Rabi'ah Adawiyah
tidak menyebut secara jelas kapan beliau lahir dan kapan ia wafat.[43] ada yang mengatakan tahun 135 H,[44] namun sebagian besar ahli sejarah berpendapat bahwa ia wafat pada tahun 185 H dalam usia kurang lebih 85 tahun.[45] Dan pemakalah memilih menggunakan pendapat yang kedua untuk menentukan tahun wafatnya Rabi'ah Adawiyah.
2. Pinangan Hasan al-Bashri
Ada
beberapa tulisan yang menyatakan bahwa Rabi'ah pernah dipinang oleh
Hasan al-Bashri, ulama sekaligus zahid besar di zamannya dari kota
Bashrah yang sekaligus juga gurunya, dimana Rabi'ah mengajukan 4
pertanyaan yang apabila bisa dijawab oleh Hasan al-Bashri, maka ia
bersedia menikah dengannya.[46]
Menurut pemakalah sangatlah tidak logis, karena Hasan al-Bashri
meninggal tahun 110 H, sedangkan Rabi'ah Adawiyah meninggal pada tahun
185 H, dalam usia tidak kurang dari 80 tahun, sebagaimana yang telah
pemakalah bahas di atas. Jadi ada jarak sekitar 70 tahun antara
keduanya. Tidak masuk akal kalau Rabi'ah dalam usia kurang dari 10 tahun
telah menerima ajaran tasawuf dari Hasan al-Bashri serta tiba-tiba
beralih dari kehidupan biasa ke arah kehidupan yang bersifat mistis
dengan mengkonsentrasikan diri pada kezuhudan dan ibadah.
3. Pengharaman menikah untuk dirinya
Rabi'ah
Adawiyah menerima banyak pinangan untuk menikah, tetapi ia tolak semua.
Ia mengambil keputusan karena menurutnya, dengan tidak menikah itulah
ia dapat melakukan pencarian tanpa ada hambatan. Cinta Rabi'ah kepada
Allah telah memenuhi seluruh jiwa dan raganya. Ketika kepadanya
ditanyakan mengenai cinta kepada Rasulullah, ia menjawab, “Aku, demi
Allah sangat mencintai Rasul, akan tetapi cintaku kepada al-Khaliq (Maha
Pencipta) telah memalingkan perhatianku dari sesama makhluk (segala
ciptaan)”. Dan ketika ditanyakan mengapa menolak menikah sebagai salah
satu sunah Rasulullah, maka ia menjawab bahwa dirinya adalah milik
Allah yang dicintainya. Barangsiapa ingin memperisterikannya, maka
hendaklah minta izin kepada Allah. Kaitannya dengan perkawinan, Rabi'ah
berkata :
“Perkahwinan
itu memang perlu bagi sesiapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada
mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah
perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun.”[47]
Jadi
Rabi'ah tidak mengharamkan nikah, hanya saja karena harena hatinya
telah diliputi rasa cinta kepada Allah, sehingga tidak tersisa
sedikitpun ruang dalam hatinya untuk cinta kepada makhluk-Nya, termasuk
cinta kepada seorang laki-laki untuk menjadi pendamping hidupnya.
4. Pertemuannya dengan Dzun Nun al-Mishri
Ada
yang berpendapat bahwa Rabi'ah Adawiyah pernah bertemu dengan seorang
Sufi dari Mesir yang bernama Dzun Nun al-Mishri. Pendapat ini sangat
tidak logis, karena Rabi'ah Adawiyah hidup antara tahun 95 H sampai
dengan 185 H, sedangkan Dzun Nun al-Mishri wafat pada tahun 245 H.
Memang kalau kita lihat ada sedikit kemiripan pusisi atau syair yang
dibuat oleh Rabi'ah dengan yang dibuat oleh Dzun Nun al-Mishri. Hal ini
mungkin karena keduanya sama-sama Sufi dan menggunakan cinta sebagai
media untuk mendekat kepada Allah.
B. Tinjauan Historis pemikiran Rabi'ah Adawiyah
Pada
awal abad ke-2 Hijrah, Iraq telah membangkitkan getar hati manusia
dengan semangat dan kekuatan peradaban kehidupan. Kota Bashrah ketika
itu bagaikan bintang yang berkelap-kelip di Iraq. Kota itu telah terbuka
pintu-pintunya bagi para ulama dan pemikir, kota itu benar-benar
menjelma menjadi tempat berkumpulnya keagungan raja-raja Persia dengan
barang-barang mewahnya, hingga kota itu bergelimang penuh dengan
kemewahan, keagungan dan keindahan. Keadaan hidup masyarakat Islam dalam
pemerintahan Bani Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan
ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai
berlumba-lumba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat
tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin
diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup
wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Banyak
orang-orang Islam yang telah tenggelam dalam kemewahan dan gemerlapnya
dunia hingga melalaikan kewajibannya sebagai makhluk Allah yang
diciptakan hanya untu beribadah. Hal inilah diantaranya yang menjadi
motivasi bagi para Sufi saat itu, termasuk Rabi'ah Adawiyah, untuk
meninggalkan segala tipu daya dunia demi mencapai kebahagiaan hakiki di
akhirat nanti. Para Sufi, terlebih lagi Rabi'ah Adawiyah, menganggap
bahwa cinta pada dunia hanyalah menjadi penghalang untuk dekat pada
Allah. Dunia adalah hina, kekayaan dan kekuasaan hanyalah milik Allah,
untuk itu tidak pantas bagi manusia untuk menyombongkannya apalagi
sampai melupakan kepada Tuhannya.
Rabi'ah
Adawiyah dari mulai lahir sudah terbiasa dengan kehidupan zuhud, hal
ini karena ayahnya adalah seorang zahid, yang malu meminta kepada
sesamanya. Ia pada usia remaja telah “terpenjara” fisiknya oleh
perbudakan, meskipun hatinya bebas mengembara tanpa ada yang dapat
memenjarakannya. Hal ini pula yang memotivasi Rabi'ah untuk lebih dekat
pada Allah dengan mahabbahnya.
IV. PENUTUP
Kecintaan (Mahabbah) Rabi’ah
terhadap Allah menjadi sebuah hal yang tak terlukiskan. Apa yang
dilakukannya sebetulnya merupakan ikhtiar seorang manusia untuk
membiasakan diri ‘bertemu’ dengan penciptaNya. Disitulah ia memperoleh
kehangatan, kesyahduan, kepastian dan kesejatian hidup. Sesuatu yang
kini dirindukan oleh banyak orang. Menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi
Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia
yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan
untuk sebuah pengejaran cinta yang agung dari Penciptanya.
Ketika,
kini, uang dan harta, tahta dan wanita, jabatan dan kedudukan, begitu
didamba oleh banyak orang dan dipuja sebagai sumber kebahagiaan hidup,
akankah kita ikut terlarut dalam euphoria cinta “salah kaprah” ini?
Ketika Rabi’ah begitu jatuh bangun mengejar cinta Penciptanya,
bersediakah kita jatuh bangun untuk mengejar Uang yang adalah benda mati
ciptaan kita sendiri? Jawabannya ada pada hakekat tujuan hidup kita
masing-masing.
Akhirnya
pemakalah berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
diri pemakalah sendiri. Saya sadar, makalah ini masih jauh dari
sempurna, hal ini karena keterbatasan ilmu yang saya miliki. Untuk itu
saran dan kritik demi kemajuan dan perbaikan makalah ini sangat
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah, Surabaya, 1933.
AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah : Jenjang Sufisme Rabi’ah Adawiyah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 4, Ichtiar Baru, Jakarta, 1997.
Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman : Suatu Pengantar Tentang Tasawuf , Pustaka, Bandung, 1985.
Dr. Javad Nurbakhsh, Sufi Women, Khaniqahi-Nimatullahi Publications, New York, 1983.
http://darisrajih.wordpress.com/2008/03/10/perindu-cinta-allah/#more-166.
Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002.
Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
Margaret Smith, M.A., Ph.D., Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997.
[1] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah : Jenjang Sufisme Rabi’ah Adawiyah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003, hal 137.
[2] Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah, Surabaya, 1933, hal. 1.
[3] Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman : Suatu Pengantar Tentang Tasawuf , Pustaka, Bandung, 1985, hal.83.
[4] Ibid., hal 82
[5] Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hal. 116.
[6] Margaret Smith, M.A., Ph.D., Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal. 7.
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 4, Ichtiar Baru, Jakarta, 1997, hal. 148.
[8] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 2.
[9] Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 10.
[10] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit.
[11] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 8.
[12] Ibid., hal. 9-10.
[13] Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 23.
[14] Ibid.
[15] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal. 10-11.
[16] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit.
[17] Ibid.
[18] Lihat, Dr. Javad Nurbakhsh, Sufi Women, Khaniqahi-Nimatullahi Publications, New York, 1983, hal. 31.
[19] Lihat : Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal 116.
[20] Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Op.Cit., hal. 83
[21] Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal 116..
[22] Ibid., hal. 127.
[23] Margaret Smith, M.A., Ph.D., Op. Cit., hal. 101.
[24] Lihat : AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 127-128.
[25] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit.
[26] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 136.
[27] Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 171-172.
[28] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 137.
[29] Ibid., hal. 161.
[30] Margaret Smith, M.A., Ph.D., Op. Cit., hal. 65.
[31] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 163.
[32] Ibid. hal. 45
[33] Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 111-112.
[34] Lihat : Ibid., hal. 63- 66
[35] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 59-60.
[36] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit. hal. 184.
[37] Ibid.
[38] Margaret Smith, M.A., Ph.D., Op. Cit., hal. 67.
[39] Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 15.
[40] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal. 66-67.
[41] Ibid.
[42] Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002, hal. 55.
[43] Dalam buku Rabi’ah al-Adawiyah : al-Adzra’ al-Batul, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Perawan Suci dari Basrah : Jenjang Sufisme Rabi’ah Adawiyah, AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, serta dalam buku karya Abdul Mun’im Qandi yang berjudul , Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah, yang keduanya secara khusus membahas tentang kehidupan Rabi’ah Adawiyah tidak mencantumkan kapan Rabi’ah wafat.
[44]
Pendapat ini dikemukakan oleh mereka yang berpendapat bahwa Rabi’ah
adalah murid dari Hasan al-Bashri dan pernah di lamar oleh ulama zahid
tersebut.
[45] Lihat : Margaret Smith, M.A., Ph.D., Op. Cit., hal. 52, Dr. Javad Nurbakhsh, Sufi Women, Khaniqahi-Nimatullahi Publications, New York, 1983, hal. 31, Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal 116 dan Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Op.Cit., hal. 83.
[46] Lihat : Margaret Smith, M.A., Ph.D., Op. Cit., hal. 14-15, AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal. 35-36.
[47] http://darisrajih.wordpress.com/2008/03/10/perindu-cinta-allah/#more-166
Komentar
Posting Komentar