Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang lemah dan
sangat butuh pada pertolongan Allah dalam setiap urusan-Nya. Yang mesti
diyakini bahwa manusia tidak mengetahui perkara yang ghoib. Manusia tidak
mengetahui manakah yang baik dan buruk pada kejadian pada masa akan datang.
Oleh karena itu, di antara hikmah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, Dia
mensyariatkan do’a supaya seorang hamba dapat bertawasul pada Rabbnya untuk
dihilangkan kesulitan dan diperolehnya kebaikan.
Seorang muslim sangat yakin dan tidak ada keraguan
sedikit pun bahwa yang mengatur segala urusan adalah Allah Ta’ala.
Dialah yang menakdirkan dan menentukan segala sesuatu sesuai yang Dia kehendaki
pada hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَرَبُّكَ
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (68) وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ
وَمَا يُعْلِنُونَ (69) وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي
الْأُولَى وَالْآَخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (70)
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan
memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui
apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan
Dialah Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah
segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al Qashash: 68-70)
Al ‘Allamah Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
“Sebagian ulama menjelaskan: tidak sepantasnya bagi orang yang ingin
menjalankan di antara urusan dunianya sampai ia meminta pada Allah pilihan
dalam urusannya tersebut yaitu dengan melaksanakan shalat istikhoroh.”[1]
Yang dimaksud istikhoroh adalah memohon kepada Allah
manakah yang terbaik dari urusan yang mesti dipilih salah satunya.[2]
DALIL SURAT ISTIKHOROH
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ
فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ «
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ
الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ،
وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ
وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ،
اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ
– خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى
وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى
فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى
وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى
– أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ –
فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى
بِهِ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau
mengajari shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur’an.
Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk
melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat
fardhu, lalu hendaklah ia berdo’a: “Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika,
wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa
aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in
kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili
amrii wa aajilih (aw fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa
yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta’lamu annahu
syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa
aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii
bih”
Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu
dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta
kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku
tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak.
Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui
bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia
dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka
takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia
untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi
agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan
akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana
pun itu sehingga aku pun ridho dengannya.”[3]
FAEDAH SHOLAT ISTIKHOROH
Pertama: Hukum shalat istikhoroh adalah
sunnah dan bukan wajib. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إِذَا
هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk
melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat
fardhu”
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
didatangi seseorang, lalu ia bertanya mengenai Islam. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat lima waktu sehari semalam.” Lalu
ia tanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هَلْ
عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ « لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »
“Apakah aku memiliki kewajiban shalat lainnya?” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak ada, kecuali jika engkau ingin
menambah dengan shalat sunnah.”[4]
Kedua: Dari hadits di atas, shalat
istikhoroh boleh dilakukan setelah shalat tahiyatul masjid, setelah shalat
rawatib, setelah shalat tahajud, setelah shalat Dhuha dan shalat lainnya.[5] Bahkan jika shalat istikhoroh dilakukan
dengan niat shalat sunnah rawatib atau shalat sunnah lainnya, lalu berdoa
istikhoroh setelah itu, maka itu juga dibolehkan. Artinya di sini, dia mengerjakan
shalat rawatib satu niat dengan shalat istikhoroh karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk
melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat
fardhu.” Di sini cuma dikatakan, yang penting lakukan shalat dua raka’at
apa saja selain shalat wajib. [6]
Al ‘Iroqi mengatakan, “Jika ia bertekad melakukan
suatu perkara sebelum ia menunaikan shalat rawatib atau shalat sunnah lainnya,
lalu ia shalat tanpa niat shalat istikhoroh, lalu setelah shalat dua rakaat
tersebut ia membaca doa istikhoroh, maka ini juga dibolehkan.”[7]
Ketiga: Istikhoroh hanya dilakukan untuk
perkara-perkara yang mubah (hukum asalnya boleh), bukan pada perkara yang wajib
dan sunnah, begitu pula bukan pada perkara makruh dan haram. Alasannya karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ
فِى الأُمُورِ كُلِّهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan.”
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abi Jamroh bahwa yang dimaksudkan dalam hadits
ini adalah khusus walaupun lafazhnya umum.[8] Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan,
“Yang dimaksud dengan hadits tersebut bahwa istikhoroh hanya khusus untuk
perkara mubah atau dalam perkara sunnah (mustahab) jika ada dua perkara sunnah
yang bertabrakan, lalu memilih manakah yang mesti didahulukan.”[9]
Contohnya, seseorang tidak perlu istikhoroh untuk
melaksanakan shalat Zhuhur, shalat rawatib, puasa Ramadhan, puasa Senin Kamis,
atau mungkin dia istikhoroh untuk minum sambil berdiri ataukah tidak, atau
mungkin ia ingin istikhoroh untuk mencuri. Semua contoh ini tidak perlu
lewat jalan istikhoroh.
Begitu pula tidak perlu istikhoroh dalam perkara
apakah dia harus menikah ataukah tidak. Karena asal menikah itu diperintahkan
sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An Nur: 32)
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai para pemuda, jika salah seorang di antara
kalian telah mampu untuk memberi nafkah, maka menikahlah.”[10] Namun dalam urusan memilih pasangan dan
kapan tanggal nikah, maka ini bisa dilakukan dengan istikhoroh.
Sedangkan dalam perkara sunnah yang bertabrakan dalam
satu waktu, maka boleh dilakukan istikhoroh. Misalnya seseorang ingin melakukan
umroh yang sunnah, sedangkan ketika itu ia harus mengajarkan ilmu di negerinya.
Maka pada saat ini, ia boleh istikhoroh.
Bahkan ada keterangan lain bahwa perkara wajib yang
masih longgar waktu untuk menunaikannya, maka ini juga bisa dilakukan
istikhoroh. Semacam jika seseorang ingin menunaikan haji dan hendak memilih di
tahun manakah ia harus menunaikannya. Ini jika kita memilih pendapat bahwa
menunaikan haji adalah wajib tarokhi (perkara wajib yang boleh
diakhirkan).[11]
Keempat: Istikhoroh boleh dilakukan
berulang kali jika kita ingin istikhoroh pada Allah dalam suatu perkara. Karena
istikhoroh adalah do’a dan tentu saja boleh berulang kali. Ibnu Az Zubair
sampai-sampai mengulang istikhorohnya tiga kali. Dalam shahih Muslim, Ibnu Az
Zubair mengatakan,
إِنِّى
مُسْتَخِيرٌ رَبِّى ثَلاَثًا ثُمَّ عَازِمٌ عَلَى أَمْرِى
“Aku melakukan istikhoroh pada Rabbku sebanyak tiga
kali, kemudian aku pun bertekad menjalankan urusanku tersebut.”[12]
Kelima: Do’a shalat istikhoroh yang lebih
tepat dibaca setelah shalat dan bukan di dalam shalat. Alasannya adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا
هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ …
“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk
melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat
fardhu, lalu hendaklah ia berdo’a: “Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika …”[13]
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah mengatakan,
“Aku tidak mengetahui dalil yang shahih yang menyatakan bahwa do’a istikhoroh
dibaca ketika sujud atau setelah tasyahud (sebelum salam) kecuali landasannya
adalah dalil yang sifatnya umum yang menyatakan bahwa ketika sujud dan tasyahud
akhir adalah tempat terbaik untuk berdo’a. Akan tetapi, hadits ini sudah cukup
sebagai dalil tegas bahwa do’a istikhoroh adalah setelah shalat. ”[14]
Keenam: Istikhoroh dilakukan bukan dalam
kondisi ragu-ragu dalam satu perkara karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا
هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
““Jika salah seorang di antara kalian bertekad
untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat
fardhu”. Begitu pula isi do’a istikhoroh menunjukkan seperti ini. Oleh
karena itu, jika ada beberapa pilihan, hendaklah dipilih, lalu lakukanlah
istikhoroh. Setelah istikhoroh, lakukanlah sesuai yang dipilih tadi. Jika
memang pilihan itu baik, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka nanti akan
dipersulit.[15]
Ketujuh: Sebagian ulama menganjurkan ketika
raka’at pertama setelah Al Fatihah membaca surat Al Kafirun dan di rakaat kedua
membaca surat Al Ikhlas. Sebenarnya hal semacam ini tidak ada landasannya. Jadi
terserah membaca surat apa saja ketika itu, itu diperbolehkan.[16]
Kedelepan: Melihat dalam mimpi mengenai
pilihannya bukanlah syarat dalam istikhoroh karena tidak ada dalil yang
menunjukkan hal ini. Namun orang-0rang awam masih banyak yang memiliki
pemahaman semacam ini. Yang tepat, istikhoroh tidak mesti menunggu mimpi. Yang
jadi pilihan dan sudah jadi tekad untuk dilakukan, maka itulah yang dilakukan.[17] Terserah apa yang ia pilih tadi, mantap bagi
hatinya atau pun tidak, maka itulah yang ia lakukan karena tidak dipersyaratkan
dalam hadits bahwa ia harus mantap dalam hati.[18] Jika memang yang jadi pilihannya tadi
dipersulit, maka berarti pilihan tersebut tidak baik untuknya. Namun jika
memang pilihannya tadi adalah baik untuknya, pasti akan Allah mudahkan.
TATA CARA SHOLAT ISTIKHOROH
Pertama: Ketika ingin melakukan suatu
urusan yang mesti dipilih salah satunya, maka terlebih dahulu ia pilih di
antara pilihan-pilihan yang ada.
Kedua: Jika sudah bertekad melakukan
pilihan tersebut, maka kerjakanlah shalat dua raka’at (terserah shalat sunnah
apa saja sebagaimana dijelaskan di awal).
Ketiga: Setelah shalat dua raka’at, lalu
berdo’a dengan do’a istikhoroh:
اللَّهُمَّ
إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ
مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ،
وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ
– ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ –
قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ،
ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى
فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى
وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ
رَضِّنِى بِهِ
Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka
bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa
ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu
hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa
aajilih (aw fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii,
tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii
diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii
‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih.
[Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu,
aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan
kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu
melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang
mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara
ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat,
(atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal
tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika
Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan
akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka
palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu
sehingga aku pun ridho dengannya]
Keempat: Lakukanlah pilihan yang sudah
dipilih di awal tadi, terserah ia merasa mantap atau pun tidak dan tanpa harus
menunggu mimpi. Jika itu baik baginya, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu
jelek, maka pasti ia akan palingkan ia dari pilihan tersebut.
Demikian penjelasan kami mengenai panduan shalat
istikhoroh. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Pangukan-Sleman, di sore hari
menjelang Maghrib, 15 Rabi’ul Awwal 1431 H (01/03/2010)
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an (Tafsir Al
Qurthubi), Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, 13/306, Mawqi’ Ya’sub (sesuai
cetakan).
[2] Lihat Fathul Baari, Ibnu Hajar Al
Asqolani, 11/184, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[3] HR. Bukhari no. 7390, dari Jabir bin ‘Abdillah
[4] HR. Bukhari no. 2678 dan Muslim no. 11, dari
Tholhah bin ‘Ubaidillah.
[5] Lihat Fiqhud Du’aa, Syaikh Musthofa Al
‘Adawi, hal. 167, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 1422 H.
[6] Faedah dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam
Shahih Fiqh Sunnah, 1/426, Al Maktabah At Taufiqiyah. Begitu pula terdapat
penjelasan yang sama dari Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam kitab
beliau Bughyatul Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’ (soft file).
[7] Lihat Nailul Author, Asy Syaukani, 3/87,
Irodatuth Thob’ah Al Muniroh.
[8] Lihat Fathul Baari, 11/184.
[9] Idem
[10] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[11] Contoh-contoh ini kami peroleh dari Fiqhud
Du’aa, hal. 167-168.
[12] HR. Muslim no. 1333
[13] Lihat Fiqhud Du’aa, hal. 168-169.
[14] Fiqhud Du’aa, hal. 169.
[15] Faedah dari penjelasan Syaikh Muhammad bin
Umar Bazmul dalam Buhyatul Mutathowwi’ (soft file).
[16] Lihat Fiqhud Du’aa, hal. 169.
[17] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/427.
[18] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Umar
Bazmul dalam Buhyatul Mutathowwi’ (soft file).
Komentar
Posting Komentar